Di negeri yang merayakan demokrasi setiap lima tahun sekali ini, sistem politiknya menawarkan pintu yang lebarterlalu lebar, barangkali. Bukan hanya untuk cita-cita perubahan, tetapi juga untuk sebuah biaya yang tak sedikit. John Locke pernah berkata, “Tindakan manusia pada dasarnya adalah mencari kekuasaan, dan ketika kekuasaan itu tergapai, ia akan dengan segenap daya mempertahankannya.”
Di sini, demokrasi kita telah menjadi medan pertempuran, bukan saja untuk meraih kekuasaan, tetapi juga untuk mempertahankannya dengan segala caratermasuk dengan korupsi.
Politik Indonesia, seperti sungai yang berkelok-kelok, memiliki arus yang kuat di dasar namun tak selalu tampak di permukaan. Sistem politik berbiaya tinggi itu bukan saja menghanyutkan materi, tapi juga telah menghancurkan harga diri, integritas dan kepercayaan publik.
Banyak politisi kita yang awalnya masuk ke dunia politik dengan cita-cita mulia untuk menyejahterakan rakyat, kemudian terjebak dalam ujian yang bukan saja tidak dapat mereka lalui, bahkan larut terhanyut di dalamnya. Jeratan permainan proyek, suap, upeti, dan segala jenis godaan uang menjadi buah simalakama yang tak kunjung bisa mereka tolak. Kelemahan manusiawi ini menggiring mereka pada apa yang Foucault sebut sebagai “the invisible prisons of power”penjara tak terlihat dari kekuasaan yang mereka bangun sendiri.
Kondisi ini memberikan peluang lebar pula bagi mereka yang duduk di puncak piramida kekuasaan untuk mewujudkan keculasan pada sisi yang lain: sebuah strategi jitu dengan menguasai aparat penegak hukum, termasuk KPK. Terjadilah sebuah permainan yang tak setara. Seperti kata George Orwell dalam Animal Farm, All animals are equal, but some animals are more equal than others. Di sini, hukum tak lagi menjadi alat keadilan, tapi senjata untuk mempertahankan kekuasaan.
Dalam permainan ini, politisi yang berseberangan, yang pernah terjebak dalam dosa-dosa mereka, akhirnya seperti rela diikat dalam jeratan tali boneka yang mengarahkan mereka kepada apa saja yang diinginkan sang dalang. Bukan karena mereka taat pada hukum, tetapi karena mereka takut pada kekuatan yang menguasai hukum itu sendiri. Mereka menjadi sandera, terpenjara, di dalam sistem yang mereka ciptakan sendiri.
Di tengah permainan ini, celah itu pun semakin terbuka. Anggaran dan kewenangan negara, yang seharusnya diamanahkan untuk kepentingan rakyat, diam-diam tergadaikan untuk membayar biaya politik yang terus membengkak. Uang negara dan kekuasaan negara yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kualitas pelayanan masyarakat, disedot habis-habisan untuk melunasi utang moral para politisi kepada para penyokongnya. Seperti sebuah lubang hitam yang terus menghisap, korupsi melahap semua yang ada di sekitarnya.
Senyatanya kita memang hidup dalam sebuah ironi. Hidup di sebuah negeri yang tengah berjalan menuju ‘Indonesia Emas’, tapi di bawah permukaan, kita melihat bayang-bayang masa depan yang suram. Demokrasi, dalam wajahnya yang paling murni, seharusnya menjadi ajang bagi mereka yang berintegritas. Namun kenyataannya, ia lebih sering menjadi panggung bagi mereka yang paling lihai menipu.
Maka, kita bertanya, adakah jalan keluar dari lingkaran setan ini? Atau, seperti kata Plato, kita hanya akan terus hidup dalam gua, melihat bayangan kekuasaan yang tak pernah benar-benar kita miliki?
Mungkin, jawaban itu ada pada kita semuapada kesadaran bahwa demokrasi bukan hanya tentang memilih, tapi juga tentang mengawasi. Bahwa kekuasaan yang didapatkan melalui jalan korupsi adalah kekuasaan yang rapuh, dan pada akhirnya, akan runtuh oleh beban dosa-dosa yang tak termaafkan.
Jakarta, 2 September 2024
Yoke Octarina
https://kbanews.com/wp-content/uploads/2024/09/Politisi-yang-Tersandera.jpg
Politisi-yang-Tersandera.jpg
E: Di luar 4 kategori