Isu standarisasi pakaian Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibra) yang digagas oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) telah menjadi pusat perhatian publik dalam beberapa minggu terakhir. Keputusan Kepala BPIP Nomor 35 Tahun 2024 tentang Standar Pakaian, Atribut dan Sikap Tampang Paskibra inilah yang menuai kontroversi. Hal ini disebabkan, dalam keputusan tersebut menghilangkan ketentuan ciput warna hitam (bagi putri yang berhijab) yang sebelumnya diatur dalam Peraturan BPIP Nomor 3 Tahun 2022. Topik ini menarik karena tidak hanya berkaitan dengan identitas nasional, tetapi juga menyentuh aspek hak asasi manusia, khususnya kebebasan berekspresi dalam berbusana. Sebagai lembaga yang bertugas memperkuat nilai-nilai Pancasila, BPIP dalam mengeluarkan kebijakan tersebut dipertanyakan komitmennya dalam menjaga negara yang multikultural ini. Mengingat Paskibra merupakan simbol penting dalam upacara kenegaraan, terutama saat peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Oleh Karena itu, penting untuk mencari solusi agar kebijakan yang dibuat BPIP dapat menyeimbangkan antara identitas nasional dan penghormatan terhadap hak individu.
Sebelum lebih jauh, penting untuk memahami latar belakang dan peran Paskibra dalam membentuk identitas nasional. Paskibra dibentuk untuk menanamkan semangat kebangsaan, cinta tanah air, dan patriotisme pada generasi muda Indonesia. Keanggotaan Paskibra berasal dari berbagai daerah di Indonesia yang merepesentasikan keragaman budaya dan suku bangsa. Oleh karena itu, keberadaan Paskibra tidak hanya menjadi pengibar bendera dalam upacara kenegaraan semata, tetapi juga simbol persatuan dan kesatuan bangsa.
Namun, di balik peran simbolis tersebut, ada tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa kebijakan yang diterapkan kepada anggota Paskibra tidak mengabaikan prinsip-prinsip kebhinekaan dan kebebasan individu. Seiring dengan perkembangan zaman, tuntutan akan penghormatan terhadap hak individu, semakin mengemuka termasuk hak untuk berekspresi dalam berpakaian.
Standarisasi Seragam: Aspek Konstitusionalitas dan HAM
Dalam kajian hukum, standarisasi pakaian sering dijadikan alat oleh negara untuk mencapai keseragaman dan disiplin di berbagai institusi. Kebijakan seperti ini umumnya diterapkan di berbagai sektor, termasuk militer, pendidikan, dan lembaga pemerintahan, di mana seragam berfungsi sebagai simbol persatuan serta identitas kolektif. Namun, ketika standarisasi pakaian diterapkan pada Paskibra yang merepresentasikan keragaman budaya dan agama di Indonesia, muncul pertanyaan penting: apakah kebijakan ini sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusi dan hak asasi manusia yang dilindungi oleh UUD 1945?
Isu penggunaan simbol dan atribut keagamaan merupakan aspek integral dari hak beragama atau berkeyakinan yang harus dihormati, dilindungi, dan dipenuhi oleh negara. Kebebasan positif memungkinkan setiap orang untuk menggunakan simbol agama sebagai pilihan bebas, sementara kebebasan negatif mengharuskan negara atau otoritas publik untuk tidak memaksakan penggunaan simbol keagamaan.
Konstitusi Indonesia mengakui kebebasan beragama sebagai hak fundamental. Sila Pertama Pancasila mengakui KetuhananYang Maha Esa, yang bermakna kewajiban setiap manusia di Indonesia untuk menghormati agama dan kepercayaan orang lain. Namun, pembatasan terhadap kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau keyakinan seseorang dapat diberlakukan berdasarkan hukum untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat.
Didalam konstitusi Indonesia, kebebasan didalam beragama dan berkeyakinan telah dijamin, dihormati dan dilindungi. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 yang secara eksplisit, menjamin hak setiap warga negara atas kebebasan meyakini kepercayaan dan mengekspresikan pikiran sesuai dengan hati nuraninya. Selanjutnya, juga diatur dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya. Ketentuan ini menegaskan bahwa negara memiliki kewajiban untuk melindungi hak-hak individu terkait dengan kebebasan beragama, yang termasuk hak untuk mengekspresikan keyakinan melalui pakaian. Oleh karena itu, kebijakan yang mengabaikan keragaman keyakinan dalam standarisasi pakaian dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap konstitusi.
Kebebasan beragama adalah salah satu hak asasi manusia. Oleh karena itu, patut menjadi pertimbangan dalam pembuatan kebijakan standarisasi pakaian Paskibra. Disisi lain, Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), sehingga memiliki kewajiban dalam melindungi hak-hak tersebut. Pasal 18 ICCPR menekankan bahwa setiap individu memiliki hak untuk mengekspresikan keyakinan agamanya melalui berbagai bentuk ibadah, pengajaran, serta praktik keagamaan. Dalam konteks standarisasi pakaian Paskibra, prinsip ini sangat relevan.
Jika kebijakan yang dibuat BPIP, tidak mempertimbangkan atau mengabaikan aspek-aspek keagamaan dalam berpakaian, seperti kewajiban memakai jilbab bagi perempuan Muslim dapat dikatakan sebagai tindakan diskriminatif dan bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Hal ini tidak hanya bertentangan dengan UUD 1945, tetapi juga dengan kewajiban internasional Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi ICCPR. Dalam konteks Paskibra, meskipun tujuan standarisasi pakaian adalah untuk menciptakan keseragaman dan mempromosikan identitas nasional, cara yang dipilih tidak boleh mengorbankan hak-hak konstitusional warga negara, khususnya dalam hal kebebasan beragama. Negara, dalam hal ini BPIP, memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa kebijakan yang diterapkan tidak hanya menghormati tetapi juga melindungi hak-hak konstitusional warganya.
Identitas Nasional Dalam Multikulturalisme
Paskibra, sebagai simbol kebanggaan nasional, memiliki peran krusial dalam upacara kenegaraan yang meneguhkan persatuan dan kesatuan bangsa. Seragam yang dikenakan oleh anggota Paskibra tidak hanya sekadar pakaian, melainkan merupakan representasi dari identitas nasional yang ingin ditampilkan kepada publik. Namun, dalam konteks Indonesia yang dikenal dengan keberagamannya, baik dari segi etnis, agama, maupun budaya, kebijakan standarisasi pakaian yang terlalu ketat dapat menimbulkan tantangan tersendiri. Risiko terbesar dari kebijakan ini adalah pengikisan identitas individu yang sebenarnya merupakan bagian integral dari kekayaan bangsa.
Sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim, Indonesia harus mempertimbangkan variasi cara berpakaian yang terkait dengan keyakinan agama, seperti penggunaan jilbab bagi perempuan Muslim, dalam merumuskan kebijakan seragam. Apabila BPIP menetapkan standar seragam yang tidak memperhitungkan aspek-aspek ini, maka ada kemungkinan timbulnya persepsi negatif dari masyarakat yang merasa identitas budaya dan agama mereka tidak dihargai. Pendekatan yang lebih inklusif dan holistik seharusnya diadopsi oleh BPIP, yang tidak hanya menitikberatkan pada keseragaman, tetapi juga pada pengakuan dan penghormatan terhadap keragaman. Menghormati budaya dan keyakinan setiap anggota Paskibra adalah cerminan dari semangat Pancasila yang menghargai perbedaan dan menekankan kebersamaan.
Pengalaman dari negara-negara lain bisa menjadi referensi berharga dalam merumuskan kebijakan seragam yang inklusif. Misalnya, Inggris yang menerapkan kebijakan seragam di sekolah dan institusi publik dengan memperhatikan keragaman agama dan budaya. Beberapa sekolah di Inggris memberikan kebebasan kepada siswa untuk mengenakan pakaian yang sesuai dengan keyakinan agama mereka, seperti jilbab atau turban, selama tidak mengganggu proses pendidikan dan sejalan dengan nilai-nilai umum. Di Amerika Serikat, yang menekankan kebebasan individu termasuk dalam hal berpakaian, beberapa institusi juga memberikan kelonggaran dalam kebijakan seragam untuk alasan agama atau budaya. Pengalaman ini menunjukkan bahwa kebijakan seragam yang inklusif dapat diterapkan tanpa harus mengorbankan identitas individu dan kebebasan berekspresi.
Sebagai negara yang menjunjung tinggi Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, Indonesia seharusnya dapat belajar dari negara-negara tersebut. Kebijakan standarisasi pakaian Paskibra seharusnya mencerminkan semangat toleransi dan kebersamaan yang menjadi dasar negara, dengan memberikan ruang bagi anggota Paskibra untuk berpakaian sesuai dengan keyakinan agama dan budaya mereka. Hal ini penting untuk memastikan bahwa kebijakan tersebut tidak hanya memperkuat identitas nasional, tetapi juga menghormati dan melindungi hak-hak konstitusional individu.
Polemik mengenai standarisasi pakaian ini juga menarik perhatian berbagai ahli dan tokoh masyarakat. Beberapa ahli hukum, seperti Yusril Ihza Mahendra, berpendapat bahwa kebijakan seragam yang terlalu ketat dapat mengurangi kebebasan yang dijamin oleh konstitusi. Yusril menekankan bahwa dalam negara demokratis, kebebasan berekspresi, termasuk dalam hal berpakaian, harus dilindungi. Di sisi lain, ada juga tokoh nasionalis yang mendukung kebijakan BPIP dengan alasan bahwa standarisasi seragam diperlukan untuk menjaga citra dan kehormatan bangsa dalam upacara kenegaraan. Mereka berpendapat bahwa seragam yang seragam mencerminkan persatuan dan kesatuan, serta dapat menghilangkan perbedaan yang berpotensi memecah belah bangsa.
Namun, pandangan tersebut tidak bisa diterima secara mutlak tanpa mempertimbangkan konteks sosial dan budaya yang lebih luas. Di era globalisasi, identitas nasional bukan lagi sesuatu yang statis dan homogen. Sebaliknya, identitas nasional harus mencerminkan dinamika masyarakat yang terus berkembang dan semakin beragam. Oleh karena itu, kebijakan standarisasi pakaian Paskibra perlu dirumuskan ulang dengan mempertimbangkan keragaman yang ada di Indonesia, sehingga kebijakan tersebut benar-benar mencerminkan semangat persatuan dalam keberagaman, sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.
Menggagas Ulang Standarisasi Pakaian Paskibra
Polemik terkait kebijakan standarisasi pakaian Paskibra oleh BPIP menjadi momentum dalam menggagas kembali kebijakan yang lebih inklusif dan dialogis. Dalam menghadapi permasalahan ini, BPIP perlu mempertimbangkan fleksibilitas dalam kebijakan seragam, seperti memberikan opsi pakaian yang selaras dengan keyakinan atau budaya individu anggota Paskibra, tanpa mengurangi makna dan kehormatan upacara kenegaraan.
Untuk mencapai tujuan tersebut, BPIP dapat mengambil beberapa langkah strategis. Pertama, mengadakan dialog publik yang inklusif dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk perwakilan komunitas agama, ahli HAM, dan praktisi hukum, dalam proses penyusunan dan evaluasi kebijakan. Dialog publik ini penting untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil mencerminkan kepentingan semua pihak serta menghormati hak-hak individu. Kedua, menerapkan kebijakan yang fleksibel, yang memberikan ruang bagi penyesuaian seragam berdasarkan keyakinan agama tanpa mengorbankan esensi utama dari standarisasi tersebut. Kebijakan yang fleksibel mencerminkan komitmen negara untuk menghormati keberagaman dan menjaga hak asasi manusia. Ketiga, menyusun pedoman teknis yang jelas mengenai bagaimana kebijakan standarisasi pakaian dapat diimplementasikan secara adil dan proporsional, tanpa diskriminasi. Keempat, pentingnya pengawasan dan evaluasi secara berkala terhadap pelaksanaan kebijakanuntuk memastikan tidak terjadi pelanggaran hak-hak individu, serta melakukan revisi jika ditemukan adanya kekurangan dalam pelaksanaannya.
Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika harus menjadi landasan dalam setiap perumusan kebijakan. Kebijakan yang mengatur seragam Paskibra seharusnya tidak hanya menekankan pada keseragaman, tetapi juga perlu mempertimbangkan keragaman yang menjadi fondasi identitas nasional. Dengan demikian, kita dapat membangun bangsa yang tidak hanya kuat dan bersatu, tetapi juga memenuhi rasa keadilan bagi seluruh masyarakatnya.
Yassir Arafat, Kolumnis
https://kbanews.com/wp-content/uploads/2024/09/Polemik-Seragam-Paskibra-Antara-Identitas-Nasional-dan-HAM.jpg
Polemik-Seragam-Paskibra-Antara-Identitas-Nasional-dan-HAM.jpg
E: Di luar 4 kategori