Kita berharap Jakarta bukan sekadar kota untuk mencari penghidupan, namun mendapatkan kehidupan, yang berisi seni, sastra, dan budaya yang nuansanya mewarnai hidup kita. (ABW)
Oleh: Alwi Sagaf Alhadar*)
SEANDAINYA saat ini Bang Ali Sadikin masih hidup, pastilah ia akan girang bukan kepalang. Memangnya ada apa?
Kini Taman Ismail Marzuki (TIM) yang berada di Jakarta Pusat, tepatnya di kawasan Cikago (Cikini, Kali Pasir, Gondangdia) telah berubah wajah (facelift).
Tampilan berbagai fisik bangunan, ruang terbuka, dan aneka fasilitas di dalamnya berkelas bintang 5, namun tetap miliki cita-rasa Nusantara.
Mulanya, pusat seni dan budaya Jakarta ini diresmikan pembukaannya oleh Gubernur DKI Jakarta, Jenderal Marinir Ali Sadikin pada 10 November 1968 silam. Kala itu, Anies Baswedan (ABW) belum lahir ke dunia ini.
Di areal seluas 8 hektare ini, dulunya dikenal sebagai ruang rekreasi umum “Taman Raden Saleh” yang merupakan Kebun Binatang Jakarta, kemudian dipindahkan ke arah selatan kota. Tepatnya di Ragunan, hingga kini.
Ada rentang waktu cukup panjang -lebih dari setengah abad- sejak awal diresmikan oleh Bang Ali hingga ABW merevitalisasi wajah baru pusat seni, budaya, dan sains yang menggunakan nama seorang seniman serba bisa -putra asli Betawi- kelahiran Kwitang. Tak jauh dari kawasan Cikago.
Bisa saya katakan di sini, bahwa Bang Ali sebagai peletak dasar roh pusat seni dan budaya ini. Namun – maaf- di tangan ABW lah kini TIM bisa tampil membanggakan di mata dunia internasional.
Lagi- lagi, ini semua tak membuat ABW jumawa. Dalam berbagai kesempatan, dengan nada humble ia selalu berkata, apa yang dicapai saat ini adalah bagian dari hasil kerja para gubernur sebelumnya.
Saat awal “mengurus Jakarta”, ia langsung tancap gas menentukan city branding.
Kata kolaborasi kemudian dilekatkan pada Kota Jakarta. Ini artinya, sebuah kota sudah semestinya menjadi wadah bagi setiap penghuninya untuk saling bekerja sama, maju dan berkembang.
ABW anti dengan pemeo one man show.
Kini kata kolaborasi menjadi magnet dan buah bibir di mana-mana. Dari Sabang sampai Merauke. Entah itu di forum resmi, hingga obrolan santai di warung kopi.
Sejenak kita kembali ke Facelift TIM. Untuk “melawan lupa”, di sini saya sengaja ceritakan pengalaman ketika menonton duel konser musik rock. God Bless versus SAS, kelompok musik cadas pecahan AKA dari Surabaya. Konser ini digelar untuk memeriahkan ultah TIM ke-12.
Mereka beraksi di arena Teater Terbuka yang panggungnya diapit dua pohon mangga besar. Saat show tengah berlangsung, tiba-tiba hujan deras. Penonton pun basah kuyup. Namun tak ada yang beranjak. Sewaktu memasuki TIM pun di sana-sini terdapat genangan air berupa tanah becek. Harga karcis pun telah “dikendalikan” para calo sesuka mereka.
Itu dahulu. Kini semuanya berubah 180 derajat. Berbagai venue tertata rapi dengan bentuk bangunan yang unik serta tata cahaya, suara, dan pendingin ruangan yang nyaman.
Revitalisasi TIM adalah salah satu masterpiece monumental nan prestisius persembahan ABW bagi warganya.
Ada Gedung Panjang setinggi 14 lantai yang pada fasadnya menggambarkan not balok lagu ciptaan Ismail Marzuki berjudul Rayuan Pulau Kelapa. Galeri Anex, gedung opera Graha Bhakti Budaya, serta bangunan unik lainnya.
Semuanya itu dipercantik dengan tiga gedung jangkung di sisi timur, luar area TIM.
Last but not least. Planetarium sebagai ikon TIM pun direnovasi dengan tetap mempertahankan keaslian kubah putihnya yang legendaris.
Kini, warga Jakarta boleh berbangga diri. Berdiri tegak sejajar dengan warga kota dunia lainnya. Sesuai slogan ABW dalam “mengurus Jakarta”. Maju Kotanya, Bahagia Warganya.
TIM pun hadir setara dengan berbagai pusat seni budaya di seantero dunia. Entah itu kota-kota di Eropa, Amerika, Australia, hingga Asia sekali pun.
Siapa tahu kelak “virus” Facelift TIM ini akan merambah ke kota-kota besar lainnya di Indonesia?
Ternate, 24 Januari 2022.
*) Alwi Sagaf Alhadar, Pengamat, Ahli Komunikasi, dan Wartawan.