Tentu hal biasa dan lumrah jika tampilan bermacam video singkat yang dibuat tidak membuat semua orang menyukainya. Mereka yang hadir dengan dasar “pokoknya” tidak suka Anies, pastilah muncul komen minor tidak mengenakkan. Anies melakukan pencitraan atau pansos.
ANIES Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, mulai bermedia sosial. Tampaknya ada team yang dibuat untuk ia bisa menyapa warganya. Siapa pun yang tidak bermukim di Jakarta bisa pula menikmati unggahan videonya. Cara efektif menyapa dari jauh.
Videonya tidak dibuat panjang, sekitar dua menitan. Tapi dibuat enak ditonton. Digarap secara apik. Tidak ngasal. Ada tema kuat dihadirkan. Gambar dan narasi, yang dibaca pun, jika ada, memudahkan siapa pun memahami pesan yang dikirim.
Sebenarnya hal-hal biasa yang disampaikan, tapi sarat makna. Hal-hal keseharian itu pun sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Tapi hal yang sudah sulit bisa ditemui, hampir punah. Maka pesan yang disampaikan menjadi istimewa.
Memang tidak semua video singkat yang dibuat sempat saya lihat. Tapi sebagian yang saya lihat, cukup bisa melihat sisi-sisi Anies Baswedan di luar ia sebagai pejabat. Ia tampil menjadi tidak berjarak, dan itu berhasil. Publik bisa melihat semua itu dengan telanjang apa adanya.
Dimulai pada pagi harinya. Sang istri dihadirkan di situ. Sibuk menyiapkan sarapan. Meja makan hadir membersamai sarapan bersama. Sang anak berbincang. Seperti waktu sempit bertemu sang ayah dipakai dengan sebaik-baiknya. Selanjutnya, siap-siap ke kantor. Sang istri mencium tangan Anies, pun Anies membalas mencium tangan sang istri. Sang anak mencium tangan ayahnya, pun dibalas yang sama.
Pada video itu hanya gambar yang tampil. Tidak muncul narasi dibacakan. Tapi gambar itu setidaknya sudah bisa menafsir harmonisasi keluarga itu terbangun. Siapa pun akan melihat itu dengan pandangan yang sama. Hal sederhana dihadirkan, yang memang sudah jarang bisa ditemui.
Melihat video itu menguatkan adagium sebuah pesan diberikan. Keberhasilan laki-laki itu tidak terlepas dari peran wanita hebat dibelakangnya. Anak-anak pun tumbuh dari pelajaran yang didapat tiap harinya, yang bisa dilihat dari ayah dan bundanya. Ajaran lewat laku, tidak sekadar mulut yang berbicara.
Perjalanan menuju kantor. Sesekali mampir ke kedai kopi. Membeli kopi sambil menyapa orang disekitarnya. Saat membayar, tampak di pojok meja kasir nyembul cemara natal dengan lampunya bergemerlap. Muncul pesan disampaikan di situ, bahwa Anies tidak bermasalah dengan perbedaan.
Terkadang Anies muncul di JIS, proyek stadion sepak bola prestisius kebangaan tidak cuma Jakarta tapi Indonesia. Melihat progres pengerjaannya yang nyaris rampung. Di luar jam kantor, sesekali kita bisa lihat Anies di Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) yang dibangun dengan cantiknya. Tampil santai dengan baju putih lengan panjang atau t-shirt dengan paduan celana jins.
Warga yang melihatnya berebut menjabat tangannya. Mencium tangannya. Berakrab ria. Foto bersama penuh keriangan. Anies seolah menjadi tidak berjarak.
Ada adegan sederhana lain yang bisa buat hati campur baur. Seorang ibu muda dan sepasang anak balitanya. Dari kejauhan menghampiri Anies. Tangan anak sulungnya yang perempuan disodorkan, tanda ingin berjabat tangan dengan orang yang mungkin biasa dilihatnya di televisi. Anies mengulurkan tangannya, dan sambil jongkok ia bicara dengan anak-anak itu. Sungguh pemandangan indah diperlihatkan. Video tanpa narasi, tapi semua bisa menafsir yang sama.
Ada lagi sisi lain Anies yang bisa dilihat. Dari video yang viral, ada salah satu yang menarik. Itu tentang si Lego. Bukan nama seseorang. Lego nama seekor kucing, yang terlahir dengan kondisi tubuh tidak sempurna.
Lego berkaki tiga, bukan empat. Dua di depan, dan satu di belakang. Jika berjalan tentu tidak sempurna selayaknya.
Pada saat santai, di halaman belakang rumah tampak Anies bermain bersama Lego yang bermanja sambil tiduran. Saat Anies beranjak meninggalkannya, Lego membuntuti. Seperti tak hendak ditinggal tuannya. Subhanallah.
Lego bukanlah kucing jenis impor yang menawan. Lego hanyalah kucing lokal yang dipelihara selayaknya. Kebersihannya terjaga. Terlihat bulu-bulunya yang putih bersih yang dipadu warna hitam.
Memelihara sepenuh hati, meski cuma kucing “kampung” dengan bentuk fisik tak sempurna. Pada orang kebanyakan, memelihara binatang dengan fisik tak sempurna, itu dianggap pantangan, dijauhi. Entah sebab apa, pastinya bukan semata rasa kemanusiaan yang hilang. Lebih pada mitos yang digaungkan.
Video singkat berjudul “Bersama Lego Kucing Berkaki Tiga”, cukup haru juga menghibur. Mampu menampakkan sisi lain seorang Anies.
Tentu hal biasa dan lumrah, jika tampilan bermacam video singkat yang dibuat, itu tidak membuat semua orang menyukainya. Mereka yang hadir dengan dasar “pokoknya” tidak suka Anies, pastilah muncul komen minor tidak mengenakkan. Anies melakukan pencitraan atau pansos.
Sebutan itu tidak salah jika mau ditafsir sesukanya. Boleh-boleh saja disebut demikian.
Anies memang melakukan pansos, jika itu ingin disebut pansos. Tentu pansos yang dihadirkan, itu setelah karya selesai dikerjakan, atau menjelang karya selesai dan bisa dinikmati. Karenanya, pansos Anies bisa disebut bagian dari sosialisasi atas kerja yang sedang dan, atau sudah dikerjakan. Bukan pansos tanpa latar belakang peristiwa. Seperti sekadar tempelan foto tokoh, dan lalu diviralkan. Hadir tidak sewajarnya, sekadar terkesan merakyat. Dihadirkan lepas begitu saja, tanpa penjelasan dan latar peristiwa.
Pastilah itu tidak sebanding dengan apa yang “dipansoskan” Anies, yang lebih pada sosialisasi pada sebuah karya. Itulah kreativitas sebenarnya ditempatkan. Dan video singkat yang digarap serius dengan tematik, setidaknya bisa melihat sisi keseharian Anies Baswedan apa adanya. Keren.