Kuesionernya bisa saja tidak reliabel sehingga tidak mengukur apa yang mau diukur. Kuesioner seperti ini dengan sendirinya menghasilkan survei yang bias.
JAKARTA | KBA – Akhir pekan kemarin publik dibuat kaget dengan hasil survei (riset) soal pilihan warga Nahdatul Ulama (NU) kepada para Calon Presiden (Capres) pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Survei dilakukan oleh Center for Strategic on Islamic and International Studies (CSIIS) di pesantren tiga wilayah yakni Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Banten.
Akademisi Universitas Esa Unggul Jakarta Jamiluddin Ritonga mempertanyakan prosedur yang digunakan oleh CSIIS sehingga menghasilkan bahwa warga NU tidak memilih Anies Baswedan. Padahal, Anies Baswedan tergolong memiliki hubungan dekat dengan kalangan NU.
“Jadi, kalau Anies sama sekali tidak dipilih warga NU untuk Capres 2024 ada kemungkinan kesalahan pada prosedur survei yang digunakan. Prosedur yang dimaksud berupa pertanyaan (instrumen) yang digunakan dan cara memperoleh sampelnya,” kata Jamiluddin kepada KBA News lewat pesan tertulis, Jumat, 28 Januari 2022.
“Kuesionernya bisa saja tidak reliabel sehingga tidak mengukur apa yang mau diukur. Kuesioner seperti ini dengan sendirinya menghasilkan survei yang bias,” sambungnya.
Selain itu, kata Jamiluddin, cara lembaga tersebut memperoleh sampel juga dipertanyakan, apakah sesuai prosedur atau hanya asal-asalan.
“Cara memperoleh sampelnya (sampling) juga perlu dicek. Apakah benar prosedur mengambil sampelnya benar-benar sesuai cara samplingnya?” tanya Jamiluddin.
Menurut pengajar Ilmu Komunikasi Politik ini, publik harus paham betul soal prosedur dalam melakukan survei, terkhusus soal penggunaan sampel. Karena dalam prosedur survei ada dua hal yang perlu dilakukan periset dalam mengambil sampel, agar hasil riset tersebut dipercaya publik.
“Terkait sampelnya, perlu juga diketahui apakah representatif dan presisi tinggi. Kalau dua hal ini tidak terpenuhi, maka hasil survei tersebut tidak dapat digeneralisasikan,” jelasnya.
“Dua hal itu menjadi kekuatan survei. Kalau dua atau salah satu dari dua hal itu lemah, maka hasil survei dengan sendirinya menjadi invalid. Hasil yang invalid, berarti hasil survei itu tidak layak dipercaya,” pungkasnya. (kba)