Sosok absurd dan makhluk simulacra bisa siapa saja. Mungkin termasuk kita. Hegemoni makhluk simulacra di pentas politik, sosial, dan ekonomi memaksa sosok absurd menepi.
Malam itu tersisa kira-kira sepertiga. Benar-benar merasa sangat lapar, saya memutuskan menyusuri jalan-jalan di sekitar Stasiun Duren Kalibata, Jakarta. Mencari sesuatu sekadar untuk mengganjal perut sembari menunggu pagi tiba.
Di pinggir jalan, di atas trotoar, saya melihat sepotong koran bekas pembungkus kacang tergeletak. Saya memungut dan membacanya sambil lalu, kemudian terhenti saat menemukan sebuah kata: “Madyan.”
Seketika ingatan saya terlontar ke masa empat dekade silam. Terkenang pada masa SMA kelas tiga dengan seorang guru yang akrab disapa Ibu Madyan. Beliau mengajar Biologi. Bila beliau masih hidup (semoga), berarti usianya kini sudah mendekati 80 tahun.
Seingat saya, beliaulah satu-satunya guru yang memberi perhatian lebih kepada saya. Mungkin menurut beliau, saya termasuk siswa yang memiliki minat paling menonjol pada kajian ilmu hayat tersebut. Begitu pula saya sangat respek kepadanya, meski tetap saja saya suka membantahnya. Ah, itu sih hanya cara saya untuk mendapatkan perhatiannya.
Suatu hari di kelas berlangsung diskusi seru tentang asal-usul kehidupan, tepatnya dari mana kehidupan berasal. Mulai dari Lazzaro Spallanzani, Charles Darwin, hingga Stanley Miller bolak-balik disebut tiada henti. Namun, Darwin-lah yang paling banyak menguras waktu dan energi, bahkan emosi terasa mendidih hingga di ubun-ubun.
“Kafir!” teriak saya dengan sangat keras.
Tak tahan melihat guru saya tersebut tampak begitu nyaman dengan gagasan Darwin tentang evolusi. Sedangkan saya sendiri tidak memiliki argumentasi yang memadai untuk membantahnya. Rupanya teriakan saya membuat guru saya itu sangat marah hingga matanya berkaca-kaca, lalu pergi meninggalkan kelas.
Cukup lama saya tidak digubris, sekalipun beliau sedang berdiri di depan kelas menjalankan tugasnya. Di sisi lain, kendati menyesal, saya enggan meminta maaf karena merasa tidak bersalah. Sempat mengira kala itu nilai Biologi saya jeblok. Eh, ternyata baik-baik saja.
”Maafkan saya, Ibu,” gumam saya yang tiba-tiba merindukan beliau.
Charles Darwin membangun Teori Evolusi-nya di atas premis tentang seleksi alam, adaptasi, survivalitas, dan kepunahan. Dalam bukunya, On the Origin of Species (1859), Darwin begitu yakin bahwa terjadinya perbedaan spesies itu karena seleksi alam (evolusi). Hanya spesies yang mampu beradaptasi yang dapat bertahan hidup. Jika tidak, konsekuensinya punah.
Bagi saya, premis Darwin tentang seleksi alam, adaptasi, dan survivalitas itu bukan masalah. Apalagi saya memang tidak cukup memiliki pengetahuan memadai untuk menegasinya. Selain itu, sains modern sebenarnya juga sudah tak terlalu menggubrisnya.
Kalaupun saya menolak, itu lebih karena doktrin “Adam manusia pertama” yang telanjur tertanam kuat di benak saya sehingga tidak bisa melihat kemungkinan lain. Sebaliknya, jika Teori Evolusi itu saya terima, saya pun harus menerima konsekuensi logis dari penerimaan itu: bahwa kita dengan bangsa primata berasal dari moyang yang sama. Ini yang sulit bagi saya.
Kendati begitu, tidak berarti saya setuju premis tersebut sudah tidak berlaku. Dalam pandangan saya, premis tentang adaptasi dan survivalitas itu masih sangat relevan untuk melihat realitas manusia modern.
Misalnya, sudah bukan rahasia lagi bahwa untuk mencapai status sosial, ekonomi, dan politik tertentu yang lebih tinggi, manusia modern harus pandai berpura-pura, pintar menjilat, bahkan hingga harus melacur. Manusia modern berlomba membangun citra diri melampau dirinya sendiri. Padahal diri yang dicitrakan itu bukan lagi diri yang sebenarnya.
Itulah realitas manusia modern yang sudah dianggap jamak. Realitas ini disebut Jean Baudrillard, sosiolog kontemporer Prancis, sebagai hyperreality (hiperrealitas). Namun, sejatinya itu adalah wujud adaptasi demi survivalitas itu sendiri.
Hanya saja, adaptasi itu berlangsung pada proses seleksi yang manipulatif – penuh rekayasa. Bukan seleksi alam. Akibatnya, manusia modern dipenuhi makhluk-makhluk simulacra (baca: simulakra) yang bergentayangan di pentas politik, sosial, dan ekonomi. Mereka itu bagaikan sosok tanpa dosa.
Sementara itu, yang gagal beradaptasi dengan realitas tetapi kemudian tidak juga berevolusi menjadi makhluk simulacra, mereka pun dicap sebagai sosok absurd yang malang atau sosok pandir yang gagal berdamai dengan realitas.
Sosok absurd dan makhluk simulacra bisa siapa saja. Mungkin termasuk kita. Sosok absurd sarat dengan keterbatasan. Mereka rata-rata tidak memiliki kemampuan ekonomi dan politik, juga tidak memiliki status sosial yang terpandang. Padahal mereka sebenarnya memiliki human capital yang memadai dan relatif sedikit modal sosial. Itu sebabnya mereka lebih banyak ditemukan di warung kopi.
Di pentas politik, sosial, dan ekonomi, mereka dihegemoni oleh makhluk simulacra. Sosok absurd ini pun terpinggirkan. Karena tidak mampu bergentayangan, mereka pun luntang-lantung sembari memaki dengan napas yang tersengal-sengal.
Makhluk simulacra lain lagi. Kemampuannya berdamai dengan realitas manusia modern membuat mereka, pada umumnya, memiliki kehidupan yang mapan secara ekonomi dan terpandang secara sosial. Mereka memiliki akses yang bagus di dunia politik, sehingga tidak heran kalau mereka dapat ditemukan gentayangan di sekitar lingkaran kekuasaan.
Bagi mereka, citra diri adalah nilai yang sangat penting, sehingga harus dijaga sedemikian cara. Gaya busana dan lingkungan pergaulan harus terjaga dan terawat dengan baik. Itu sebabnya mereka dapat ditemukan di kafe dan restoran mahal, serta lobi hotel berbintang.
Apa boleh buat, demi citra diri itu, mereka terpaksa harus membayar mahal. Maka harap maklum kalau pencapaian materi menjadi ukuran sukses bagi mereka. Mengapa? Sebab mereka sejatinya adalah pecandu kenikmatan duniawi. Jika kekuasan tak mampu mereka raih, menjadi penikmat kekuasaan pun sudah cukup.
Boleh jadi, sosok absurd dan makhluk simulacra itu adalah dua sahabat yang saling merindukan. Persahabatan itu terjalin oleh cita-cita yang sama. Dulu, ketika menjadi aktivis mahasiswa masih dipenuhi gelora idealisme. Kini, keduanya terpisah oleh jarak yang cukup jauh. Dan, hanya warung kopi yang dapat mempertemukan mereka kembali.
Kumandang suara adzan subuh mulai bersahutan. Tidak terasa sudah lebih dari dua jam saya duduk di kios bubur kacang di pinggiran Stasiun Duren Kalibata. Sebelum berdiri, kopi yang masih tersisa saya habiskan dengan sekali seruput, lalu buru-buru beranjak pergi.
Yarifai Mappeaty – Pemerhati Sosial Politik