Presidential Threshold 20% (PT 205) adalah ‘entry point’rejim apartheid oligarki, melalui ‘invisible hands’ dalam mengontrol Pilpres 2024 sesuai agenda dan tujuan mereka untuk merebut kekuasaan melalui cara-cara non-demokratis, perampasan kedaulatan rakyat, perampokan kekayaan negeri, pelanggaran hak asasi manusia, dan mengorbankan keadilan sosial.
Jika penolakan MK terhadap gugatan penghapusan PT 20% tetap berlanjut, sudah saatnya menyampaikan gugatan ini melalui peradilan yang diatur dalam Intenational Covenant on Civil and Political Rights, di mana Indonesia telah menjadi pihak pada tahun 2005.
HARI ini, Senin 17 Januari 2022 akan ditandai dengan babakan baru ‘pertempuan’ di Mahkamah Konstitusi (MK)’ antara pembela kedaulatan rakyat, demokrasi dan hak asasi manusia melawan para oligarki pemilik modal dan kekuasaan yang semakin mencengkeram negeri kita.
Gugatan rakyat untuk penghapusan Presidential Threshold 20% (PT 20%) tidak akan berhenti. Berlapis-lapis gugatan rakyat, parpol Dewan Perwakilan Daerah (DPD) telah dipersiapkan.
Di belakang mereka, berlapis-lapis rakyat pembela demokrasi, kedaulatan rakyat dan hak asasi manusia sedang menuggu aba-aba untuk bergerak.
Negeri ini akan memasuki tahapan yang membahayakan. Padahal, lebih mudah bagi MK untuk menjelaskan jika mengabulkan gugatan itu daripada memenangkan kepentingan oligarki.
Apa dasar dan argumentasi pembela kedaulatan rakyat, demokrasi dan hak asasi manusia atas penolakan PT 20%?
Pertama, Pilpres 2019 dengan skenario oligarki hanya menghasilkan pengalaman terburuk kita dalam berdemokrasi. Kita gagal menghadirkan pesta demokrasi yang indah dan melanjutkan perjalanan sejarah, termasuk memilih presiden/wakil secara jujur dan adil.
Pemilu 2019 menghabiskan puluhan triliun uang pembayar pajak terbukti tidak saja menjadi kesia-siaan bahkan ironisnya dana itu dimanfaatkan untuk kepentingan oligarki. Maka hilanglah harapan kita menuju Indonesia menjadi negara maju yang berdaulat, dan berperadaban.
Oligarki dengan ‘invisible hands’ melaksanakan scenario ‘pembatasan paslon’ dan ‘pengaturan skor’ dengan dukungan jaringan kekuasaan berhasil menyelenggarakan Pilpres 2019, sesuai skenario, di mana kedua paslon ternyata boneka ciptaan di bawah kontrol mereka.
Kedua, alasan MK bahwa PT 20% adalah kekacauan berfikir yang mengklaim ‘open legal policy’ yang diatur pada Pasal 222 UU No 17/2017 sejatinya bukan mengatur ‘syarat’ pencalonan presiden. Pasal milik oligarki ini strategi yang merusak sistem ketatanegaraan kita.
Melalui berbagai amandemen UUD 1945, oligarki behasil memasukkan sistem demokrasi liberal ‘winner takes all’ dan menata-ulang sistem ketatanegaraan kita yang kini mengklaim menjadi representasi kedaulatan rakyat.
Bersama presiden pilihan parpol, DPR sebagai representasi rakyat , MK sebagai kekuasaan yudisial bersama MA tidak bisa mengelak dari cengkeraman oligarki. Maka, melalui ‘invisible hands’ kendali oligarki terhadap kekuatan eksekutif, legisltatif, dan yudikatif dan dukungan law-enforcement telah sempurna, dan dengan bebas melaksanakan agendanya.
Ketiga, perampasan kedaulatan rakyat untuk agenda politik oligarki. PT 20% telah mengubah basis lanskap politik nasional demi memperkuat agenda dan kepentingan mereka ke depan, Dalam hal ini, telah tersusun siapa-siapa yang akan dijadikan pemenang di Pemilu 2024, pada kontestasi Pilpres, Pileg DPR, Pilgub, Pilwalkot, Pilbub yang notabene yang secara kontraktual telah menjadi pendukung agenda oligarkis dalam panggung politik nasional.
Dengan argumen ‘open legal policy, MK menolak gugatan PT 20% sebagai syarat menjadi calon presiden. Ini adalah pembenaran MK sesuai tuntutan oligarki untuk merampok kedaulatan rakyat yang menjadi keniscayaan dalam rangka memudahkan ‘pengaturan skor’ dan kontrol oligarki, seperti telah terjadi pada pilpres 2019 yang lalu.
Pertanyaannya, bagaimana mungkin Konstitusi memberikan ‘cek kosong’ kepada UU pelaksana di tingkat lebih rendah untuk menafikan prinsip dasar Konstitusi: asas kedaulatan rakyat, demokrasi, keadilan sosial.
Ketika sistem pemilu berada di tangan oligarki maka demokrasi telah tersandera dan diatur melalui tangan-tangan yang dikontrol oleh oligarki. Praktik ini anti asas demokrasi dan kedaulatan rakyat, persamaan hak warganegara di depan hukum dan hak asasi manusia.
Keempat, Asas yang terkandung di Konstitusi sebagai ‘the gems of the constitution’ telah dilunturkan, sehingga Konstitusi tidak lagi memiliki nilai-nilai dasar sistem ketatanegaraan yang terjaga.
Kelima, PT 20% merusak sistem dan asas demokrasi dalam dampaknya pada konsentrasi perebutan suara terjadi di pulau Jawa dengan jumlah penduduk terbesar (56 %). Dari segi wilayah, pulau Jawa menjadi ‘core’ sebagai kekuatan elektrorat terbesar. Maka ribuan pulau lain yang membentuk wilayah Republik Indonesia yang berisikan 43% dipinggirkan dan berada di periferi politik nasional.
Sebagai konsekuensi logis, etnis Jawa menjadi dominan, sementara 400 etnis lainnya yang mendiami ribuan pulau di luar Pulau Jawa menjadi penambah pundi-pundi belaka.
Melalui politik devide et impera oligarki membenturkan di antara bangsa, suku, daerah berbeda satu dengan yang lain. Jika terjadi perpecahan dengan mudah mereka dikuasai. Akhirnya, terjadi pemusatan prioritas agenda pembangunan, termasuk pemilihan calon presiden/wakil presiden terbatas hanya di lingkungan Jawa.
Keenam, PT 20% telah mengembalikan state of mind Jawa sentris, baik dalam artian wilayah maupun etnis yang memahayakan kesatuan dan persatuan nasional. Maka, dapil-dapil Pulau Jawa menjadi konsentrasi utama bagi parpol (core) untuk pengumpulan suara PT20% yang dipersyaratkan.
Dengan logika PT 20%, secara etnis dan daerah hanya capres berasal dari etnis Jawa yang memenuhi persyaratan.
Konsekuensi logisnya dari perlakuan keutamaan etnis Jawa akan menghilangkan hak bagi putera-putera bangsa terbaik dari bagi etnis Batak, Bugis, Madura, Aceh, Melayu, Minang, Banten dan sebagainya yang berjumlah penduduk 43,1 persen menjadi mubazir.
Karena suara terkonsentrasi di ‘core’ (Jawa) maka elit pusat akan berkonsentrasi pada isu-isu utama di dapil daerah di Pulau Jawa. Luas, dimensi isu dalam berbagai program pembangunan akan menunjukkan bahwa prioritas utama pembangunan itu berada di wilayah ‘core’, sedangkan kepentingan pembangunan daerah berada di ‘periferi’.
Dengan demikian, PT 20% menjadi trigger untuk munculnya ‘pengkastaan’ wilayah politik dalam strata berdasarkan konsentrasi jumlah penduduk. Kembali Pulau Jawa menjadi primadona.
Dalam kondisi lanskap politik seperti ini, maka menguatnya narasi-narasi primordialisme, rasisme bahkan politik identitas dalam rangka mencari pendukung sebanyak-banyaknya tak terhindarkan. Kondisi ini pada gilirannya mengganggu terbentuknya rasa persatuan dan kesatuan di Nusantara.
Selanjutnya, pembatasan jumlah paslon dan ‘pengaturan skor’ adalah pelanggaran asas demokrasi dan perampokan kedaulatan rakyat terang-terangan. Parpol minoritas secara fait a compli dipaksa atau terpaksa masuk koalisi.
PT 20% membuka peluang bagi partai besar untuk menekan partai-partai kecil yang merupaan pelanggaran hak politik memilih dan dipilih sebagai prinsip dasar asas demokrasi.
Pada gilirannya, PT20% telah menciptakan dikotomi partai mayoritas – minoritas yang memaksa partai-partai kecil untuk secara fait a compli bergabung dalam koalisi secara paksa. Maka, ‘dissenting voice’ dan kaum oposisi atau siapapun dan di manapun mereka hadir menghalangi akan dibinasakan.
Ketujuh, PT 20% menjadikan sistem ketatanegaraan yang koruptif dan maraknya money politics. Rakyat membiayai pemilu dan pilpres untuk memfasilitasi kepentingan oligarki memperkuat kekuasaannya.
Dalam pencalonan pada pilpres, pemilu legislative di tingkat pusat, maupun pileg dan pilkada di daerah dengan biaya politik tinggi memerlukan dukungan dana oligarki yang dibayar dengan loyalitas mereka mendukung agenda dan kebijakan yang menguntungkan mereka.
Kedelapan, melanggengkan pencurian, korupsi, dan kerusakan alam melalui perubahan UU dan kebijakan pemerintah yang mencerminkan agenda dan kepentingan oligarki. Untuk melengkapi praktik kotornya, para oligarki menggunakan korup, suap, bagi-bagi jabatan kepada para pemegang kekuasaan dan dengan dukungan para pendengung (buzzers).
Politik kolonialisme dan imperialisme juga menjadi senjata mereka untuk menghancurkan semua lawan-lawan pesaing kekuasaan, dan dengan menghalalkan segala cara.
Pelanggaran hak demokrasi, hak kedaulatan rakyat yang senafas dengan prinsip persamaan dan keadilan bagi seluruh bangsa Indonesia, sebagai prinsip yang dijunjung tinggi oleh Konstitusi.
Pada gilirannya, kondisi ini telah mengancam prinsip persatuan dan kesatuan nasional yang menjadi jantung dari ‘Negara Kesatauan Republik Indonesia’, yang bertentangan dengan semboyan dan jati-diri Bhineka Tunggal Ika.
Oligarki adalah penganut politik devide et impera dengan menggunakan instrumen apartheid berkarakter rasisme, SARA, anti demokrasi dan anti kedaulatan rakyat, yang merupakan pelanggaran hak asasi manusia secara mendasar.
Dengan politik dan ideologi ini jelaslah watak oligarki-residivis ini inheren dengan praktik-praktik anti demokrasi dan anti-kedaulatan rakyat, anti-keadilan yang bertentangan dengan hak asasi manusia dan sangat berbahaya bagi bangsa dan negara.
Kesembilan, penguasaan oligarki pada politik nasional, membahayakan pelaksanaan politik luar negeri bebas dan aktif.. Oligarki adalah perpanjangan tangan Partai Komunis Tiongkok dalam persaingan AS-China yang sedang belangsung di depan mata.
Melalui oligarki sebagai proxy konteks patron-client menjadi instrumen untuk memasukkan sistem nilai yang tidak kompatibel dengan Pancasila, demokrasi, dan hak asasi manusia.
Maka Indonesia terancam diseret dalam persaingan politik global yang berbahaya bagi politik luar negeri bebas aktif. Kemenangan paslon oligarki dalam Pilpres 2024 akan melengkapi ambisi mereka menguasai negeri ini dalam jangka-panjang.
Penolakan oleh MK tuntutan penghapusan PT 20% tidak akan menghentikan perlawanan kekuatan pro rakyat dan demokrasi. Keadaan ini akan mendorong ‘political showdown’ antara dua arus kekuatan besar pro oligarki vs. pro rakyat dan demokrasi.
Kesepuluh, masih ada upaya terakhir, mengajukan gugatan penghapusan PT 20% melalui mekanisme Mahkamah Internasional. Indonesia adalah penandatangan dan pihak pada International Covenant on Civil and Political Right 1976 (ICCPR) dan berbagai konvensi internasional tentang hak asasi manusia lainnya.
ICCPR meletakkan tanggung-jawab negara dalam mengakui martabat yang melekat pada setiap warga individu dan komitmen untuk mempromosikan kondisi di dalam negara menjamin hak-hak sipil dan politik mereka.
Fakta bahwa ranking dan indeks demokrasi Indonesia menurun sejak 2015 sampai kini menjadi fakta bahwa demokrasi dan kekuasaan politik Indonesia kini di bawah cengkeraman oligargi.
Laporan The Economist Intelligence Unit (EUI) menunjukkan, skor indeks demokrasi Indonesia cenderung menurun di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Bahkan, skor indeks demokrasi Indonesia mencapai 6,3 pada 2020, terendah dalam satu dekade terakhir, turun dari angka 7,03 pada 2015.
Ironisnya, Indonesia adalah negara demokratis terbesar ke-3 dunia, namun ecara urutan, ranking indeks demokrasi Indonesia berada di urutan ke-65 dari 167 negara, jauh di bawah Malaysia, Timor Leste, dan Filipina.
Maka atas pengaduan warganegara sendiri atau bersama-sama, ICCPR akan menugaskan investigator ke Indonesia untuk membuktikan pengaduan itu dan akhirnya menemukan kondisi-kondisi hak asasi manusia, kedaulatan rakyat dan hak demokrasi yang kian menurun sebagai akibat meningkatnya kekuasaan oligarki.
Secara spesifik para investigator ICCPR menemukan kasus-kasus yang berada di yurisdiksinya tentang kelemahan komitmen Indonesia dalam pelanggaran asas kesetaraan di depan pengadilan, pelanggaran asas presumption of innocence, bebas dari campur tangan sewenang-wenang, hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragamahak berkumpul secara damai kebebasan berserikat, hak atas partisipasi politik, persamaan di depan hukum, dan perlindungan minoritas.
Prosedur terakhir, langkah-langkah remedies yang ditetapkan oleh ICCPR. Jika tidak dilaksanakan maka pemerintah Indonesia akan mempermalukan dirinya sendiri karena sistem peradilan juga telah dikuasai oleh oligarki di hadapan masyarakat internasional.
Kepada majelis hakim pemegang palu keadilan kita ingin menghimbau, keluarlah dri zona nyaman Anda. Dengarkan keluhan rakyat yang menderita karena rejim apartheid, anti-demokrasi dan keadilan yang dikuasai dan dikomando oligarki hianat ini sedang mengintensifkan ancaman mereka terhadap masa depan anak bangsa.
By: Haz Pohan, Editor-in-Chief