Anies tampil sebagai sosok negarawan santun yang mencoba merangkul semua, hal itu dia buktikan bahwa seusai Pilgub DKI, Anies bukan hanya dimiliki oleh para pendukung dan relawannya, Anies sudah menjadi milik semua warga Jakarta. Anies lakukan semua demi mensejahterakan dan mengayomi semua warga Jakarta.
DI tengah upaya pembelahan bangsa yang dilakukan oleh para penjilat dan pengkhianat reformasi, tiba tiba kita dihadirkan beberapa sosok yang bisa menjadi pemersatu dan perekat bangsa. Dalam sejarah Indonesia hanya orang-orang yang super dan mempunyai kecerdasan yang di atas rata-rata yang bisa melakukannya.
Sejarah Indonesia mencatat ulama besar Buya Hamka, meski dalam catatan sejarah beliau pernah dipenjarakan oleh Bunga Karno dan karya karyanya dilarang beredar, Buya Hamka bersedia dengan ikhlas saat diminta memimpin sholat jenazah mendiang Bunga Karno.
Bagi Buya Hamka, Bung Karno bukan lawan, Bung Karno adalah sahabat yang berbeda pilihan, tapi bersatu dalam membangun Indonesia. Tak ada dendam yang dipendam, bahkan semaian kasih sayang beliau tebarkan kepada sahabat-sahabat politiknya meski berbeda pilihan ideologi dalam membangun negara.
Nampaknya sejarah kenegarawanan Buya Hamka berulang, sebagaimana kata bijak bahwa sejarah akan selalu berulang hanya pelaku-pelakunya saja yang berbeda.
Adalah Anies Baswedan, Gubernur DKI yang tak henti hentinya mengalamiĀ perlakuan salah, meski apa yang dilakukan sesuai dengan janji konstitusi yang telah dia buat. Bahkan janji-janji konstitusi yang dia sampaikan saat kampanye dan diupayakan pemenuhannya, tapi tak pernah benar dihadapan lawan-lawan politiknya, bahkan Anies dengan santun memperlakukan mereka yang tak ada henti mengumbar kebenciannya.
Anies tampil sebagai sosok negarawan santun yang mencoba merangkul semua, hal itu dia buktikan bahwa seusai Pilgub DKI, Anies bukan hanya dimiliki oleh para pendukung dan relawannya, Anies sudah menjadi milik semua warga Jakarta. Anies lakukan semua demi mensejahterakan dan mengayomi semua warga Jakarta.
Sikap kenegarawanan diperlihatkan beberapa waktu yang lalu, Anies mengirimkan mobil ambulance untuk menjemput Remy Silado seorang sastrawan kenamaan yang sedang terbaring sakit di rumahnya. Dia jemput, dia peluk, dan dia kirim ke rumah sakit Pemprov DKI untuk mendapatkan perawatan. Beliau pun berujar bahwa dia atas nama Pemprov DKI yang akan menanggung seluruh biaya perawatan. Meski semua tahu bahwa Remy Silado pada saat Pilgub DKI 2017 adalah pendukung Ahok.
Bukan hanya ini saja sikap kenegarawanan yang ditunjukkan. Suatu saat, tahun 2018, Anies diundang Ahokers dalam sebuah local stand up, Anies menyadari betul bahwa saat itu dia berada disebuah arena yang tidak ada pendukungnya saat Pilgub DKI.
Sebagai seorang negarawanan, mereka bukanlah orang lain yang tidak perlu diayomi, dengan sikap cerdas dan elegan sebagai seorang pemimpin, Anies pun memuluai pidatonya dengan cerdas dan jenaka, yang membuat mereka para ahokers terhibur meski sejatinya Anies sedang “menampar keras” sikap mereka.
Anies memulai pidatonya dengan nada jenaka “Selamat malam kepada hadirin yang tidak pernah mendukung saya.” Sontak mereka terkaget, melompat dan tertawa, kagum dengan sikap Anies, bahkan untuk menutupi rasa malunya mereka teriak sambil tertawa dan menjauh dariĀ panggung.
Kelas Anies sebagai seorang pemimpin dan negarawan betul-betul tampak bagaimana beliau menghadapi kerasnya lawan-lawan politiknya yang mencoba menghambat dan menjatuhkan apa pun yang dia kerjakan. Terbaru, bagaimana Giring, Ketua Umum PSI, menyerang dengan keras bahkan kalau boleh dikatakan penyerangan bar-bar yang dilakukan oleh pilitisi terhadap lawan politiknya.
Giring tak ada sedikit pun etika dan merasa bersalah ketika dalam pidatonya menyebut Anies sebagai “Pembohong.” Jokowi yang mendengarkan pidato Giring itu pun tak mampu berkata apa apa, hanya tertawa sebagai sebuah hiburan yang lucu.
Sikap Giring tak berhenti pada persoalan menyerang dengan kata-kata yang ini sudah menjadi sikap partai sebagaimana disampaikan oleh juru bicara PSI. Giring pun berusaha mencari kesalahan Anies, meski apa yang dilakukan oleh Anies menurut publik adalah sesuatu yang benar dan komitmen terhadap janji kampanyenya. Bagi Giring Anies tak boleh jadi presiden, karena Anies “Intolerant,” Pembohong,” dan tuduhan-tuduhan lain yang tak berdasar kecuali kebenciannya terhadap Anies.
Dibalas kah oleh Anies? Tidak, Malah Anies lebih sibuk dengan kerja-kerjanya mensejahterakan rakyat Jakarta. Terlalu remeh dan receh Anies menanggapi fitnah yang ditebar oleh lawan-lawan politiknya yang sudah dirasuki kebencian. Aniespun lebih banyak menebar senyum dan membuktikan janji-janji politiknya. Anies tak terbang dipuji, tak tumbang dicela, meminjam istilah Ady Amar dalam sebuah tulisannya mengenai Anies.
Anies pun dapat membuktikan dirinya layak menjadi pemimpin yang berkomitmen dan bisa menepati janjinya, Stadium Jakarta International ( JIS) menjadi karya monumental, meski dengan bersahaja dia katakan bahwa keberhasilan pembangunan JIS ini bukan hanya karya dia, ini juga karya gubernur-gubernur DKI sebelumnya. Anies tak ingin mengklaim bahwa keberhasilan ini adalah keberhasilannya, ini adalah keberhasilan bersama. Dan memang seharusnya begitulah seorang pemimpin, bahwa keberhasilan sebuah program pembangunan bukan hanya keberhasilan pemimpinnya, tapi ini juga keberhasilan yang berpartisipasi dalam pembangunan.
Yang terkahir, dalam sebuah parodi yang sangat epic, Anies menegur dua orang seniman yang sedang memainkan lagu yang biasa dinyanyikan oleh Giring, disaat lagi semangatnya bernyanyi, Anies datang dan membangunkan mereka agar tidak selalu bersenandung dan bermimpi, “Mas-mas, jangan berisik di sini, ini ada orang lagi kerja.” Tentu ini menjadi “Tamparan keras” bagi Giring dan lawan-lawan politiknya yang tidak pernah mau jujur mengakui keberhasilan Anies.
Tetap sabar dan sehat selalu ya Mas Anies. Indonesia butuh negarawan yang santun.
Isa Ansori, Kolumnis