Halu seorang Giring jadi pejabat beneran, jadi bahan bulian dengan sadisnya. Tak sepatah kata pun narasi muncul dari Anies menanggapi sidak-sidakan itu. Tapi cukup direspons pejabat terkait, yang mengatakan bahwa sirkuit akan mulai digarap awal Februari. Giring kecele.
ANIES Baswedan, jika ditilik intelektualitasnya, tentu di atas rata-rata. Bahkan dianggap kecerdasan sempurna. Manusia seperti Anies di negeri ini cukup banyak. Bisa dilihat dalam beragam kepakaran. Tapi satu hal kelebihan Anies lainnya ada pada kualitas emosionalnya (emotional quality). Tidak banyak yang menyamainya.
Setidaknya belum tampak ada yang menyamainya. Bolehlah disebut bahwa penilaian ini subyektif. Tidak masalah. Tapi silahkan tunjukkan tokoh politik yang punya kualitas emosi menyamai Anies Baswedan.
Anies dikuyo-kuyo mereka yang tidak menyukainya, entah oleh sebab apa, tiap waktu. Mereka melihat Anies dengan sikap yang sudah terbentuk dengan penilaian buruk. Anies tampak tidak ada baik-baiknya. Karya dan, karenanya berjibun penghargaan didapat, itu tidak menyurutkan pandangan dalam melihat Anies sedikit bergeser lebih baik.
Jika saja kritik yang dilempar itu konstrukrif, dan itu pada pencapaian kerja-kerjanya, tentu itu nutrisi. Tapi yang disasarkan pada Anies cuma ungkapan tidak sepatutnya, cenderung fitnah. Tak ketinggalan umpatan rasis dihunjamkan.
Menjadi miris melihat Ketua Umum PSI, Giring Ganesha, yang di acara ulang tahun ke-7 partainya, dan di hadapan Presiden Joko Widodo (Jokowi), sempat-sempatnya mengatakan Anies sebagai gubernur pembohong. Umpatan penuh kebencian. Sepertinya ia tidak merasa sungkan di hadapan Jokowi melakukan hal di luar kepatutan.
Memang sih tidak disebut nama Anies Baswedan di sana. Tapi saat Giring “menggiring” dengan sebutan menteri pecatan. Maka jelas pidato politiknya itu merujuk pada Anies Baswedan.
Dunia serasa sudah terbalik, bagaimana mungkin mantan rektornya–Anies pernah sebagai Rektor Universitas Paramadina–itu disebutnya pembohong. Jika ditanya, Anies berbohong pada hal apa, pastilah Giring akan gelagapan bisa beri bukti. Dalam bahasa agama Giring ini su’ul adhab, tidak punya adab.
Anehnya, pidato politiknya yang berapi-api, yang penuh caci maki dan fitnah, itu tanpa isi. Nggedabrus. Dan sepertinya Jokowi asyik mendengarkan pidato macam itu. Karena tampak sesekali ia terkekeh dibuatnya. Giring berhasil menghibur Jokowi, meski dengan cara mengumpat Anies. Seperti sebuah penegasan, mengapa seorang Anies Baswedan mesti diperlakukan demikian.
Nampol Elegan dan Cerdas
Ada lagi adegan susulan yang dibuat Giring. Sidak melihat persiapan arena balap mobil Formula E, di Ancol. Ia perlu sampai buat video. Seolah laporan pandangan mata. Mengabarkan bahwa ia sedang sidak, dan tidak menemukan adanya pembangunan sirkuit balap. Ia cuma menemui lumpur dan beberapa ekor kambing. Bahkan adegan ia terperosok lumpur pun diabadikan. Berharap bisa jadi bahan buli Anies. Tambahnya, ia tidak menemukan pekerja atau adanya alat-alat berat di lokasi. Padahal perhelatan dilaksanakan bulan Juni 2022.
Lihat polanya bisa buat geleng kepala. Mengapa ia mesti repot-repot melakukan–pakai istilah–sidak segala. Halu seolah ia pejabat. Lagian , bukannya PSI tidak setuju adanya balap Formula E itu. Mengapa mesti repot-repot sidak segala. Sebagai politisi Giring tampak mentah, dan jam terbangnya memang baru seuprit.
Video “sidaknya” itu bukannya mendapat simpati, tapi justru kebalikan yang didapat. Sumpah serapah netizen. Narasi meletakkan kata “sidak” tidak pada tempatnya, bisa jadi senjata makan tuan: emang loe sapa?
Halu seorang Giring jadi pejabat beneran, jadi bahan bulian dengan sadisnya. Tak sepatah kata pun narasi muncul dari Anies menanggapi sidak-sidakan itu. Tapi cukup direspons pejabat terkait, yang mengatakan bahwa sirkuit akan mulai digarap awal Februari. Giring kecele.
Hebatnya Anies “membalas” Giring dengan candaan. Ya cukup dengan candaan yang cerdas, elegan, menghibur. Publik pun menilai cukup nunjek. Tampak kualitas emosi seorang Anies menuntun intelektualitasnya dengan terukur.
Maka, kreativitas menjadi penting dihadirkan. Sebuah video yang dibuat tidak sampai semenit:
Dua anak muda nongkrong sambil bermain gitar. Sebuah lagu “Biarkan”, yang pernah dipopulerkan Giring saat masih bergabung dengan band Nidji. Lalu muncullah seseorang mirip “Anies Baswedan”–diperankan Anies Baswedan–menghampiri dua remaja itu sambil mengatakan, Eh mas… mas… ini waktu bekerja. Jangan menyanyi di sini. Dua anak muda itu langsung ngeluyur sambil mengucap maaf dan awas kejeblos, Pak!
Anies membuat pesan pada anak muda kapan waktu bekerja, dan kapan waktu santai. Dan lagu yang dinyanyikan dan lalu dihentikan, itu jelas sasarannya. Pesan syantik Anies, tanpa hati terluka. Itulah kecerdasan intelektual yang beriringan dengan emosi yang terjaga.
Dan, Minggu malam (16/Januari), Anies hadir di Jakarta International Stadium (JIS). Acara check sound system. Beberapa kali artis band diundang untuk hal yang sama. Sebelumnya, grup band Padi. Kali ini yang diundang grup band Nidji, tentu minus Giring. Band Nidji versi baru. Tampil dengan vokalis barunya. Mengundang Nidji, publik mengatakan, ini juga tampolan Anies yang elegan dan cerdas.
Senin paginya (17/Januari), lewat Instagram pribadinya @aniesbaswedan mengunggah tampilan grup band Nidji.
“Spektakuler! Melihat penampilan band Nidji saat uji coba sound system JIS semalam, sambil inspeksi 93% ketuntasan pembangunan stadion.
Musiknya menggelegar, suaranya merdu, tidak ada sumbang-sumbangnya.”
“Suara merdu, tidak ada sumbang-sumbangnya”, itu narasi elegen dan cerdas. Narasi menampol, yang tidak perlu pakai gaya orator ngotot tanpa isi. Memang hak Anies sebagai pendengar yang merasakan bahwa suara vokalis Nidji, yang malam itu tampil, suaranya merdu, tidak ada sumbang-sumbangnya.
Satire H. Agus Salim Mengajarkan
Anies mengingatkan pada H. Agus Salim saat menerima hinaan tentang jenggotnya yang diserupakan kambing. Namun, ia bisa mengembalikan cacian untuk membungkam mereka yang mencacinya. Melihat Anies Baswedan, sepertinya ia belajar dari H. Agus Salim. Atau memang pada tahapan tertentu, tahapan kolaborasi cantik antara intelektualitas dan emosi, maka seseorang mampu menghadirkan sikap berkualitas.
Baiklah sedikit kisah tentang H. Agus Salim patut dihadirkan di sini.
Ia yang kebetulan memakai jenggot, model jenggot yang diserupakan kambing. Maka pada rapat Syarikat Islam (SI), saat itu SI pecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, diketuai HOS Cokroaminoto dan H. Agus Salim, dan kelompok kedua dalam bayang-bayang direbut anak-anak muda pimpinan Muso.
Saat tampil memberikan sambutan pada sebuah acara SI, maka muncul suara dari barisan belakang embek… embekk… (suara khas kambing dari kelompok Muso).
H. Agus Salim berdiri di podium dengan tenang, dan lalu ia bertanya pada panitia yang mengundangnya, “Apakah selain manusia yang diundang, adakah ikut diundang gerombolan kambing, karena saya mendengar suara kambing mengembek”. Sejak itu tidak lagi terdengar suara mengembek-embek.
H. Agus Salim berhasil membungkam mereka yang tidak suka dengannya dengan intelektualitas yang dibimbing kualitas emosi yang baik. Ia disebut kambing yang mengembek-embek, ia pun mampu membaliknya dengan menyebut yang mengembek-embek itu tak ubahnya binatang kambing.
(Memang ada beberapa versi tentang kisah H. Agus Salim dan Kambing ini. Tapi substansinya sama, kemampuan H. Agus Salim menjinakkan “gerombolan kambing”).
Anies tampaknya memakai gaya satire H. Agus Salim, meski bisa jadi tanpa disadarinya. Bisa dilihat dari video saat mengusir dua remaja yang menyanyikan lagu yang pernah dipopulerkan Giring, saat masih bersama band Nidji. Itu satire keren. Tapi pada kesempatan lain, mengundang band Nidji untuk menyimbolkan tidak ada masalah apa-apa dirinya dengan grup band itu. Maka, ia perlu mengapresiasi formasi baru band Nidji, dengan satire berkelas: suaranya merdu tidak ada sumbang-sumbangnya.
Tampaknya gaya komunikasi model satire yang makjleb itu terus akan dipakai Anies. Efektif untuk membungkam mereka yang tidak pernah menghormati politik akal sehat.
Ady Amar: Permerhati Sosial Budaya