Tumbuhnya sistem hubungan kerja tanpa jaminan dan jaring pengaman sosial yang memadai, baik di sektor formal maupun informal, cenderung mengulang praktik “pengisapan manusia oleh manusia lain” yang dikritik oleh para pendiri negara ini.
JAKARTA | KBA – Pandemi Covid-19 memberikan pelajaran berharga bagi khalayak untuk melihat dengan cermat ketidakadilan sosial ekonomi.
Hal itu ditandai ketimpangan penguasaan aset berupa sumber daya alam, lahan, dan sebagainya, akses ke modal dan pasar, serta hubungan-hubungan kekuasaan dalam praktik bisnis kroni.
Penguasaan sumber daya di tangan kelompok kecil pengusaha menunjukkan praktik ekonomi semakin jauh dari Pasal 33 UUD 45 yang memandatkan perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan.
Sementara itu, tumbuhnya sistem hubungan kerja tanpa jaminan dan jaring pengaman sosial yang memadai, baik di sektor formal maupun informal, cenderung mengulang praktik “pengisapan manusia oleh manusia lain” yang dikritik oleh para pendiri negara ini.
Kebijakan ekonomi yang terkesan berpihak pada platform ekonomi kapitalistik terlihat dari pemilahan kegiatan ekonomi berdasarkan peringkat-peringkat badan usaha milik negara, badan usaha swasta baik nasional maupun multi atau transnasional, usaha kecil dan menengah, serta usaha mikro kecil dan Menengah. Dalam bingkai itu, perekonomian berbasis kerakyatan yang bersandar pada hubungan sosial dan budaya gotong-royong cenderung semakin tidak mendapat peluang.
Peran pemerintah menjaga pemihakan kepada ekonomi kerakyatan mengalami pelemahan oleh jerat ekonomi politik yang menempatkan pertumbuhan pendapatan badan usaha besar sebagai prasyarat utama kemajuan ekonomi, dengan mekanisme yang sepenuhnya diserahkan kepada pasar.
Pendekatan itu memperlihatkan kekeliruan cara pandang yang meletakkan hubungan-hubungan sosial di bawah logika kinerja ekonomi. Padahal, pasar dan pertukaran ekonomi hanya salah satu bentuk hubungan sosial.
Cara pandang itu menempatkan kebebasan ekonomi dengan tolok ukur GDP seolah sama dengan kebebasan hakiki manusia yang mencakup kapabilitas untuk mencapai hal-hal yang dianggap bernilai. Apa yang bernilai bukan hanya kegunaan ekonomi.
Pilihan bagi sistem ekonomi yang adil dan memihak pada usaha rakyat tidak berarti mempertentangkan korporasi dengan koperasi, sistem kapitalisme dengan sosialisme, ekonomi pasar dengan bukan-pasar. Perihal yang mendesak adalah membangun upaya bersama untuk menciptakan proses dan mekanisme agar berbagai sumber daya tidak semakin terlepas dari tangan rakyat.
Untuk itu, diperlukan perubahan mendasar dalam kebijakan ekonomi skala besar dan kecil, baik dalam bentuk kebijakan moneter, fiskal, maupun politik anggaran, dengan prinsip dasar akumulasi modal untuk kepentingan rakyat. Bukan sebaliknya, rakyat diisap untuk kepentingan akumulasi modal.
Perubahan kebijakan ekonomi amat mendasar karena kebijakan ekonomi, langsung atau tidak, berhubungan dengan kebijakan pendidikan, lingkungan hidup, dan kehidupan sosial budaya yang berurusan dengan kemaslahatan hidup orang banyak. Perubahan kebijakan perlu diikuti pengawasan yang ketat dari segala arah serta sanksi hukum yang tegas agar pemberantasan korupsi dan kolusi antara pemerintah, politisi, dan pebisnis berjalan efektif.
Korupsi di bidang sumber daya alam dan kolusi pebisnis dengan kepala daerah berimbalan kemudahan perizinan akses telah menimbulkan kerusakan alam dan bencana yang memakan korban dengan kerugian yang tidak sebanding dengan penerimaan negara di bidang itu.
Ekonomi linear perlu diimbangi dengan kebijakan yang memastikan dukungan korporasi terhadap ekonomi sirkular yang memberdayakan komunitas dan memicu kreativitas pelaku usaha rakyat melalui pemanfaatan teknologi informasi yang ekologis dan manusiawi.
Tata laksana perekonomian yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat dan keberlangsungan lingkungan mensyaratkan akuntabilitas dan partisipasi yang merangkul berbagai kalangan.
Dalam bidang ekonomi, Akademi Jakarta merekomendasikan penerapan paradigma ekonomi ekologis berbasis partisipasi masyarakat dengan penekanan pada ekonomi sirkuler dan keadilan sosial dan mengembalikan relasi kekuasaan ekonomi agar sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945. (kba)