“Gagasan itu penting, kata-kata itu penting. Semua kata-kata begitu dirangkai menjadi sebuah gagasan, menjadi beda. Mendadak ada konsepsi abstrak apa yang dikerjakan. Itu namanya kepemimpinan.” — Anies Baswedan
DEKLARASI Anies Baswedan for President terus menggeliat. Seperti tak bisa dihentikan. Bertumbuh di mana-mana. Tidak cuma di Jawa, tapi sudah merambah hingga luar Jawa. Deklarasi yang disambut tua muda dengan suka cita.
Anies seolah jadi harapan untuk Indonesia yang lebih baik. Indonesia yang berkemajuan dan berkeadaban. Pantas saja Anies dielukan jadi sosok ideal memimpin negeri, itu setelah kerja-kerjanya selama empat tahunan, selaku Gubernur DKI Jakarta, terlihat nyata. Tak ada yang bisa disembunyikan dari apa yang dihasilkan. Juga tak mungkin mencari-cari kekurangan bisa didapat, jika kekurangan itu tak nyata.
Menjadi realistis jika publik di luar Jakarta melihat keberhasilan Anies membangun ibu kota itu ingin ditarik pada skala lebih luas. Harapan itu mulai diikhtiarkan pecinta Anies sepenuh hati. Maka, deklarasi di mana-mana itu bagian dari ikhtiar akan hadirnya pemimpin yang diharapkan.
Meski saja Anies Baswedan tetap menegaskan, bahwa suara adzan belum sampai waktunya dikumandangkan. Istilah itu yang ia biasa pakai. Tambahnya, saat ini baru tarhim. Maka, ia tak hendak mendahului apa yang belum menjadi konsen untuk disikapi. Itulah kesantunan politik yang dimiliki seorang Anies Baswedan. Langkah-langkahnya memang serba terukur. Bagi yang tak mengenalnya, ia seolah terkesan tak hendak menjemput takdirnya.
Itu jika dibandingkan dengan pihak lain, yang sudah lebih dulu curi start bergerak menyongsong 2024 dengan tebaran berjibun baliho berkibar di mana-mana. Juga aksi pansos berlebihan, seakan jadi modal untuk menyapa publik. Bahkan ada yang jauh hari sudah meng-create dirinya lewat media sosial. Mem-vlog berbagai kegiatannya. Pansos jadi modal untuk ditebar.
Pilihan itu yang dipilih oleh sebab-sebab tertentu. Pansos jadi model yang masih dianggap efektif. Namun, daya kritis rakyat saat ini sudah berkembang ke arah lebih rasional, ketimbang 2014 lalu. Tidak sekadar gorong-gorong mampu jadi alat efektif membunuh nalar sehat publik.
Rakyat sedikit banyak sudah mulai menyadari, dan tak mudah tertipu. Atau setidaknya, tak ingin terjebak kesekian kali tawaran model pansos. Adegan gorong-gorong pastilah tidak akan terulang untuk dimunculkan, tapi model pansos yang seolah memperlihatkan sosok sederhana akan tetap jadi favorit dimunculkan.
Menjelang Iqomah
Anies tampak berasyik masyuk dengan apa yang dipikirkannya, dan tampak kesantunan politik berlebih. Seolah tak ingin disebut kemaruk pada jabatan lebih tinggi. Maka konsennya tetap pada tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabnya, selaku Gubernur DKI Jakarta, tetap jadi prioritas utama untuk dikerjakan.
Tapi tidak dengan para pecintanya yang bertumbuh di seantero negeri, yang menganggap suara adzan sudah didengarnya, dan bahkan sudah masuk waktu iqomah. Maka berharap Anies mau sedikit bergerak menjangkau menyapa mereka lebih dekat. Berharap Anies mau bergerak di luar provinsinya. Tapi lagi-lagi, Anies lebih memilih menjaga kepatutan politik semestinya.
Justru pilihan Anies untuk konsen pada tugas utamanya selaku Gubernur DKI Jakarta, itu justru membawanya pada popularitas tinggi, tanpa harus melakukan berbagai adegan akrobatik tak selayaknya.
Sikap Anies yang memilih tetap fokus pada pekerjaan utamanya itu tidak menghentikan pecintanya untuk bergerak di setiap daerah lewat Deklarasi Anies for President. Diawali di Jakarta oleh La Ode Basir dan beberapa kawannya. Lalu menyeruak ke daerah-daerah lain menyambutnya.
Jumat sampai Minggu kemarin (21-23 Januari), Anies bisa keluar meninggalkan Jakarta. Istilahnya, ia bebas dari “tahanan kota”. Itu karena ia menghadiri undangan tokoh Partai Golkar, yang menikahkan putranya, Andi Muhammad Nur Al Bisry Nurdin Halid.
Anies diminta sebagai saksi pernikahan. Maka, pecintanya di Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), memanfaatkan itu dengan sebaik-baiknya. Anies dielu-elukan dan diberi panggung untuk bisa bertatap muka dengan pecintanya. Bahkan bukan cuma dari Makassar pecintanya hadir, tapi dari kota/kabupaten lain di Sulsel.
Kerja Dimulai dari Gagasan
Di Makassar suasana terbangun penuh keakraban-kehangatan. Anies seolah “menyihir” pecintanya dengan energi positif yang ditebar. Anies pun tampak bahagia dengan sambutan hangat yang didapat. Kehangatan yang saling berbalas.
Tampaknya ke mana pun Anies melangkah, energi positif ditulartebarkan, sebagai motivasi bahwa ke depan ada kehidupan yang lebih baik. Anies menancapkan sikap optimististis, bahwa tidak ada yang tidak mungkin untuk menjadikan Indonesia lebih baik. Anies cukup mengisahkan beberapa kisah membangun Jakarta, yang semua berawal dari gagasan. Semua pekerjaan ia mulai dengan gagasan. Setelah itu narasi disampaikan, dan lalu dikerjakan. Bukan hanya kerja, kerja, kerja yang tanpa gagasan.
Tentu apa yang disampaikannya itu tidak dimaksudkan menyindir pihak lain, yang kerap menyampaikan bahwa tidak perlu banyak omong, yang penting kerja. Anies menyampaikan, perlunya gagasan sebelum kerja dimulai itu bukan baru kemarin. Tapi itu sudah disampaikannya sejak 2016 lalu, saat kampanye Pilkada.
Menurutnya, gagasan itu penting dalam kepemimpinan. Selama ini banyak orang bekerja tanpa menggunakan gagasan.
“Gagasan itu penting, kata-kata itu penting. Semua kata-kata begitu dirangkai menjadi sebuah gagasan, menjadi beda. Mendadak ada konsepsi abstrak apa yang dikerjakan. Itu namanya kepemimpinan.”
Pernyataan lain darinya, itu pun disampaikan pada saat-saat Pilkada DKI Jakarta (Oktober 2016). Katanya, Saat ini hanya ada kerja yang dikedepankan. Kerja memang penting, tapi harus disertai ide atau gagasan. Anies menganalogikannya dengan infrastruktur. “Kalau cuma kerja, ya (namanya) mandor.”
Bekerja dengan gagasan yang dinarasikan, itulah kerja sesungguhnya. Sudah sejak awal jadi kredo kerja seorang Anies. Dan kerja-kerja Anies Baswedan setelah terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta, semua diawali dengan gagasan yang dinarasikan. Tidak sekadar kerja, kerja dan kerja.
Anies menyampaikan itu di Makassar, pastilah tidak dimaksudkan menyindir siapa pun, tapi lebih menegaskan kredo yang dipilihnya: kerja dengan gagasan. Hasilnya tampak nyata, berbuah apresiasi tidak sekadar warga Jakarta, tapi seantero negeri. Subhanallah. (*)