Anies Baswedan rupanya memang ingin melihat langsung bagaimana ruang ketiga dimanfaatkan oleh warga, baik Jakarta maupun luar Jakarta. Ingin tahu secara langsung siapa yang menggunakan ruang ketiga dan seperti apa penggunaannya.
Setelah melihat dengan mata kepala sendiri, Anies semakin yakin bahwa sesungguhnya ada kebutuhan tersembunyi yang selama ini belum difasilitasi oleh negara. Yakni, kebutuhan atas ruang publik yang menyenangkan tapi tak berbayar.
JAKARTA | KBA – Kala malam telah tiba seakan menjadi penanda bagi Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, waktunya incognito. Ia lantas secara diam-diam mendatangi ruang ketiga yang tersebar di berbagai titik kota.
“Saya sering terutama di malam hari, datang ke ruang-ruang ketiga, duduk di sana dengan satu dua orang, incognito. Untungnya sekarang pakai masker, jadi lebih tidak kelihatan,” kata Anies melalui kanal YouTube @Anies Baswedan dalam program Cerita dari Pendopo bertajuk ‘Ruang Ketiga, Ruang Interaksi (Bagian 3)’ dikutip KBA News, Rabu, 27 Januari 2022.
Kunjungan secara diam-diam dan duduk-duduk di ruang ketiga itu, kata Anies, bukan untuk apa-apa. Hanya sekadar memperhatikan warga saat menggunakan ruang ketiga.
“Dan itu pengalaman tersendiri buat saya sebagai orang yang bekerja di Jakarta menyiapkan kebijakan,” kesan orang nomor satu di DKI Jakarta ini.
Anies Baswedan rupanya memang ingin melihat langsung bagaimana ruang ketiga dimanfaatkan oleh warga, baik Jakarta maupun luar Jakarta. Ingin tahu secara langsung siapa yang menggunakan ruang ketiga dan seperti apa penggunaannya.
“Kita akan ketemu dengan fenomena orang berjalan-jalan, keluarga berinteraksi di tempat itu,” jelasnya.
Setelah melihat dengan mata kepala sendiri, Anies semakin yakin bahwa sesungguhnya ada kebutuhan tersembunyi yang selama ini belum difasilitasi oleh negara. Yakni, kebutuhan atas ruang publik yang menyenangkan tapi tak berbayar.
“Kalau menyenangkan berbayar sudah banyak. Tapi (ini) menyenangkan tak berbayar,” imbuhnya.
Menurut Anies, Jakarta harus menjadi sebuah kota yang bisa membuat semua orang merasa seperti di rumah sendiri. Bisa mengakses ke mana saja. “Kita kan di rumah kita begitu, bisa ke mana saja karena itu rumah kita. Kita ingin Jakarta itu seperti rumah kita,” harapnya.
Menghadirkan Kesederhanaan
Anies Baswedan juga menegaskan tidak menginginkan kesederhanaan menjadi barang mewah di Jakarta. Sebaliknya, kesederhanaan itu menjadi hal yang lumrah.
Dia mencontohkan, datang ke taman, jalan-jalan di trotoar, menikmati kota di sore atau malam atau pagi hari, itu semua hal yang sangat sederhana.
“Itu ndak boleh jadi barang mewah, itu harus menjadi sesuatu yang bisa diakses oleh siapa saja,” imbuhnya..
Jadi tegas Anies kembali, jangan sampai kesederhanaan itu jadi barang mewah di Jakarta. Kesederhanaan itu harus menjadi sesuatu yang bisa dirasakan oleh siapa saja.
Anies mencontohkan, bersepeda keliling kota akan merasakan pengalaman yang unik di jalur sepeda yang telah dibuat oleh Pemprov DKI Jakarta.
Kemudian ajak orangtua, ajak anak, ajak keponakan, jalan kaki sepanjang trotoar. Dia akan merasakan jalan kaki yang aman karena bisa berjalan-jalan sekeluarga di trotoar yang telah direvitalisasi.
“Kalau tidak disiapkan trotoar, maka keluarga akan pergi naik motor atau naik mobil. Bukan jalan kaki,” ujar Anies.
Lalu, apa yang menarik kalau orangtua dengan anak-anak jalan kaki? Perhatikan, ketika anak-anak jalan kaki akan melihat sesuatu dan bertanya. Di sini, orangtua berinteraksi karena diberikan ruang untuk berinteraksi, saling belajar saling bercerita dan dekat dengan anak.
“Itu yang saya maksud dengan sebuah aktivitas sederhana itu tidak jadi barang mewah, tapi aktivitas sederhana itu menjadi barang yang lumrah, yang bisa dilakukan oleh siapa saja, di man saja,” jelas mantan Rektor Universitas Paramadina ini.
Pembelajaran di Ruang Ketiga
Anies juga menegaskan, agar tidak anggap enteng proses edukasi yang terjadi ketika berjalan kaki dengan orangtua di ruang ketiga.
Dicontohkan Anies, ketika orangtua dan anak-anak jalan lalu di situ terlihat ada paku si bapak bilang, “Pakunya diambil tuh di taruh di pinggir”. Artinya, anak itu sedang dilatih oleh orangtuanya bahwa paku itu berbahaya dan perlu pinggirkan.
Terus sesudah itu si bapak bilang,” Ini ya kamu dapat pahala nih mencegah orang injak paku.”
“Pembelajaran itu menempel di pikiran anak. Tapi kalau trotoar saja tidak tersedia, pembelajaran tidak muncul,” imbuh Anies.
Kemudian, ketika jalan melihat ada yang kotor supaya diambil. Terus lagi saat sambil jalan bawa sisa makanan/sisa bungkus si bapak bilang, “Jangan dibuang di sini ya, dibuang nanti di tempat sampah.”
Jadi ruang ketiga itu menjadi ruang bagi keluarga untuk berinteraksi. Dan, jangan pernah dianggap enteng betapa ruang trotoar bagi keluarga-keluarga itu menjadi tempat berinteraksi atau pembelajaran yang mahal.
Anies juga menyebutkan, pihaknya ingin membiasakan warga untuk menempatkan sisa tidak sebagai sampah. “Kita tuh hampir selalu (menganggap) sisa sama dengan sampah,” ujarnya.(kba)