Hensat menggambarkan dua tokoh yang sama-sama Gubernur itu dengan pendekatan sederhana, dan itu tentang karya keduanya dalam membangun provinsinya masing-masing.
SEORANG kawan kemarin mengirim meme ucapan Hensat lewat Tweet-nya. Entah pada kesempatan apa ia sampai pada simpulan demikian. Hensat, itu nama inisial Hendri Satrio, pakar komunikasi politik dan pendiri lembaga survei KedaiKOPI.
Begini katanya, dan itu untuk melihat dua tokoh yang kebetulan saat ini sama-sama sebagai Gubernur dan yang digadang-gadang sebagai calon pengganti Jokowi. Yang satu Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah. Sedang satunya lagi Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta.
“Saya pernah bilang, bila ingin tau Indonesia seperti apa setelah Era Presiden Jokowi lihat aja provinsi yang dipimpin gubernur niat nyapres. Kalo pilih Ganjar ya Indonesia bakal kaya’ Jateng. Kalo pilih Anies ya Indonesia bakal kaya’ Jakarta.” #Hensat.
Hensat menggambarkan dua tokoh yang sama-sama Gubernur itu dengan pendekatan sederhana, dan itu tentang karya keduanya dalam membangun provinsinya masing-masing.
Hensat mampu menyampaikan analogi dengan sederhana, dan dengan narasi humor yang cerdas. Hensat setidaknya mampu membuat senyum simpul. Setelahnya, silahkan mengembangkan analisa lebih dalam untuk menentukan pilihan.
Hensat menggambarkan dua tokoh dengan melihat karyanya, itu tampak menggampangkan persoalan yang lebih serius. Tampak analisa yang disampaikan itu tidak serius, dan menggampangkan. Tapi setidaknya ia ingin gambarkan hal sederhana melihat seorang yang bisa dikerek pada jabatan yang lebih tinggi lagi. Dan itu lewat karya yang dihadirkan.
Apa yang disampaikan Hensat itu, tentu tidak bisa dibuat patokan utama. Tapi setidaknya Hensat memberi panduan dengan cara sederhana. Bisa disebut pendidikan politik tingkat dasar. Meski cuma dengan analogi sederhana, Hensat mampu membuka pemahaman pada mereka yang memang ingin hadirnya pemimpin ideal memimpin negeri ini.
Dengan Data Bukan Fitnah
Hensat sepertinya ingin membuka mata publik agar tidak salah memilih. Jangan memilih pemimpin apalagi Presiden, itu seperti membeli kucing dalam karung. Maka panduan sederhana perlu diberikannya. Dan sepertinya panduan-panduan demikian perlu terus diberikan.
Tidak boleh lagi muncul pemimpin yang hadir atau dihadirkan hanya modal pansos. Muncul dikatrol dengan tidak sebenarnya. Diberitakan dengan membesar-besarkan yang bersangkutan, yang pasti dengan tidak sebenarnya. Sambil mengecilkan pihak yang sebenarnya hadir dengan karya nyata.
Peran lembaga survei yang terus merilis hasil surveinya dengan membesar-besarkan seseorang, tentu pesanan dari pihak yang membayarnya. Tidak cukup satu lembaga survei yang dibayar untuk mewarnai opini publik tentang keterpilihan seseorang yang dijagokan.
Opini yang terus disampaikan pada publik, itu diharap bisa memenuhi ekspektasi keterpilihan tokoh yang dijagokan. Maka segala cara dilakukan. Peran lembaga survei politik dan bahkan buzzer jadi andalan mewarnai opini publik.
Saling bagi tugas itu pastilah butuh nominal biaya tidak kecil. Maka melihat kontestasi menuju 2024 itu jalannya tidak mudah. Pelajaran dari Pilkada DKI Jakarta (2017), Anies-Sandi vs Ahok-Djarot. Dan Pilpres 2019, Prabowo-Sandi vs Jokowi-Ma’ruf, itu bisa jadi pelajaran melihat perhelatan Pilpres 2024.
Bahkan banyak analis politik yang menyebut kontestasi Pilpres 2024 itu lebih ganas dan keras gesekannya ketimbang Pilpres 2019. Bunyi-bunyian menuju 2024 sudah terdengar ditabuh. Disambut dengan munculnya relawan baik pendukung Ganjar maupun Anies yang mulai mendeklarasikan diri di mana-mana. Partai politik di Senayan akan melihat dan menjatuhkan pilihannya, setidaknya dengan membuat survei diam-diam untuk menentukan siapa dari nama-nama yang beredar, itu yang patut didukungnya.
Tapi pelajaran politik, sebagaimana Hensat sudah memulainya, itu baik jika diberikan terus menerus tanpa harus menjelek-jelekkan satu pihak dan mengatrol pihak lainnya dengan membaik-baikkan yang bersangkutan, yang itu dengan tidak sebenarnya. Semua mesti disampaikan dengan data, dan jauhi dusta apalagi fitnah.