Hari-hari belakangan ini, buzzer-buzzer penikmat kekuasaan itu kembali bermunculan menyerang Anies dengan isu yang sama. Bedanya, mereka kali ini lantang membunyikan isu korupsi. Juga, ada yang menuduh Anies secara berapi-api sebagai pembohong.
TIDAK usah heran kalau fitnah terhadap Anies akan makin kencang. Dan, kalian semua follower Anies, santai saja, tidak usah merespon berlebihan. Sebab, mereka para buzzer penikmat kekuasaan ini, pasti tak akan tinggal diam melihat dukungan terhadap Anies terus mengalir dan makin membesar. Percaya, berbagai macam cara kotor dan keji akan mereka lakukan untuk menjegalnya, agar tidak ikut pada perhelatan Pilpres 2024.
Lagi pula, fitnah dan bully serta upaya-upaya pembunuhan karakter Anies, toh bukan baru sekarang terjadi. Pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017 lalu, Anies sudah mengalami itu, terutama saat putaran kedua. Padahal, saat masih di putaran pertama, Anies yang berpasangan dengan Sandi kala itu, relatif tenang-tenang saja. Justeru pasangan Agus-Sylvi yang menjadi bulan-bulanan dihajar mereka hingga babak belur.
Mengapa pada putaran pertama, Anies tak banyak diserang? Pertama, Anies pada dasarnya adalah “teman”. Bukankah Anies pernah menjadi Jubir Jokowi pada Pilpres 2014, lalu diangkat menjadi Mendikbud, meski hanya seumur Jagung? Bahwa ia kemudian dipecat, tetap tak menghapus kesan kalau Anies sebenarnya bukan teman biasa-biasa saja bagi mereka.
Kedua, basis massa pendukung Anies–Sandi di luar massa pendukung Gerindra dan PKS kala itu, belum tampak jelas, sehingga sama sekali tidak direken sebagai ancaman bagi pasangan Ahok–Jarot yang di-back up oleh kekuasaan dan kekuatan oligarki. Bayangkan, lebih dari selusin lembaga pollster melakukan polling, nyaris semua menempatkan Anies-Sandi pada posisi underdog. Jangankan membandingkannya dengan Ahok–Djarot, terhadap Agus–Sylvi saja, polling Anies–Sandi, megap-megap.
Namun, begitu memasuki putaran kedua, situasi berubah 180 derajat dan membuat Anies benar-benar diposisikan sebagai “bekas teman”. Memang salah Anies apa? Anies salah karena lolos ke putaran kedua dan pendukung Agus–Sylvi yang pada umumnya dari kalangan Islam tradisional hingga Islam moderat, memperlihatkan gejala mengalir deras kepada Anies–Sandi. Semenjak itu, bully dan fitnah terhadap Anies pun bermunculan dalam berbagai bentuk, termasuk kampanye hitam.
Anies mula-mula diserang dengan isu politik identitas, lantaran kelompok Islam anti Ahok yang tadinya mendukung Agus–Sylvi di putaran pertama, beramai-ramai dan terang-terangan mendukung Anies-Sandi. Anies sendiri tak menggubris isu itu, tetapi masyarakat anti Ahok yang mendukungnya lantas memasang spanduk di masjid.
“Masjid ini tidak mensholatkan jenazah pendukung dan pembela penista agama,” kurang lebih bunyi spanduk itu yang membuat pendukung Ahok-Djarot kalang kabut.
Padahal sebenarnya, motif munculnya spanduk itu tidak semata karena Anies–Sandi diserang isu politik identitas. Tetapi lebih sebagai respon balik masyarakat yang sebelumnya mendapat ancaman akan dicabut bansos-nya, jika tak memilih petahana. Ancaman tersebut beredar luas di masyarakat Jakarta, terutama di wilayah-wilayah yang ditengarai sebagai daerah basis pendukung Anies–Sandi, seperti di Kecamatan Tanah Abang dan Setiabudi.
Menariknya, setelah spanduk itu ramai dan viral, tampaknya buzzer kubu lawan pun merasa mendapatkan amunisi baru. Tak lama, muncullah isu “ayat dan mayat” menerpa Anies–Sandi dengan narasi kurang lebih bahwa untuk mengalahkan Ahok–Djarot, isu politik identitas tak mempan, sehingga Anies–Sandi harus menggunakan ayat dan mayat.
Lantas, apa respon Anies terhadap tudingan itu? Seperti biasa, ia tetap saja tenang, tak meledak-ledak. cool dan calm. Bahkan, ketika ia disergap awak media dan menanyakan hal itu, sekali lagi, Anies menunjukkan kecerdasannya.
“Jika ada jenazah pendukung 02 diterlantarkan, saya sendiri yang akan mengurus dan menyalatkannya,” jawabnya membuat semua yang mendengarnya tampak terperangah.
Jawaban Anies yang tak terduga itu memang singkat, tetapi sudah cukup merontokkan semua tudingan yang menerpanya. Mulai dari politik identitas, intoleran, anti pluralisme, bahkan dianggap pendukung radikalisme lantaran Habib Rizieq Syihab beserta FPI terang-terangan mendukungnya, seketika menguap tak berbekas.
Membayangkan jawaban Anies saat itu, persis seperti sekali tepuk, dua tiga ekor lalat mati terkapar. Kelompok buzzer yang bertugas men-downgrade Anies, benar-benar terkapar kehabisan amunisi. Satu-satunya isu hoaks yang mampu mereka produksi setelah itu hanyalah “Anies syi’ah”.
Sayangnya, isu itu terlalu murahan sehingga tidak laku. Terbukti, di putaran kedua, pendukung Agus–Sylvi, seluruhnya memilih Anies–Sandi. Bahkan pendukung Ahok–Djarot digerus oleh Anies–Sandi, hingga nyaris 1%.
Hari-hari belakangan ini, buzzer-buzzer penikmat kekuasaan itu kembali bermunculan menyerang Anies dengan isu yang sama. Bedanya, mereka kali ini lantang membunyikan isu korupsi. Juga, ada yang menuduh Anies secara berapi-api sebagai pembohong.
Tetapi tenang saja, sebab jangan-jangan kemunculan mereka adalah isyarat kalau polling Anies sebenarnya jauh lebih tinggi dari pada yang di-publish, persis seperti fenomena Pilkada Jakarta putaran kedua. Jika itu benar, maka, tunggu saja, bunyi mereka akan makin riuh karena kalap.
(Yarifai Mappeaty, Pemerhati Sosial dan Politik)