Menghalang-halangi rakyat mendapatkan calon pemimpin terbaik adalah kejahatan.
TIDAK terbantahkan, bahwa sosok yang paling mendominasi percakapan di ruang publik sepanjang 2021, adalah Anies. Rasa-rasanya, tidak ada sehari pun tanpa posting-an tentangnya. Sangking ramainya, sehingga satu-satunya yang mampu mengimbangi, hanya isu pandemi Covid-19.
Akan tetapi, berbicara soal Covid, ujung-ujungnya juga kembali mengarah ke Anies, berkat keberhasilannya mengendalikan pandemi itu di Jakarta.
Percakapan tentang Anies, makin riuh saja, tatkala sekelompok orang dari “ANIES” tiba-tiba “nyelonong” mendeklarasikan Anies untuk Capres 2024 pada Oktober 2021. Sontak Indonesia terperangah gegara ulah Aliansi Nasional Indonesia Sejahtera (ANIES) itu.
Dampaknya, euforia Anies pun muncul di mana-mana, seperti gelombang melanda. Euforia itu, antara lain, ditandai oleh munculnya berbagai kelompok relawan di berbagai daerah.
Tapi sebenarnya, jauh sebelum ANIES muncul, telah ada beberapa jaringan relawan Anies, seperti Milleanis, yang kemudian berkembang menjadi Jaringan Nasional Mileanis (Jarnas Mileanis) 24. Namun, pascadeklarasi ANIES, Jarnas Mileanis 24 pun tak henti mengembangkan jaringan di berbagai provinsi dan kabupaten/kota, sembari melakukan deklarasi.
Di jagad maya pun apa lagi, seperti enggan ketinggalan. Netizen seperti berlomba membentuk grup relawan Anies for president. Bermunculan grup whatsapp relawan Anies, baik yang bertaraf nasional beranggotakan netizen dari Sabang sampai Merauke, maupun di tingkat lokal.
Apakah fenomena gelombang euforia itu berpengaruh terhadap elektabilitas Anies sebagai Capres? Survei Kedai Kopi yang dilakukan pada November 2021, menyodorkan data yang signifikan. Pada klaster kepala daerah, Anies meraih angka 37,4%, mengungguli Ganjar Pranowo dan Ridwan Kamil.
Bukan hanya itu, di penghujung 2021, Indonesia Indicator (I2) bahkan menobatkan Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, sebagai gubernur terpuler dan paling berpengaruh sepanjang 2021. Lagi-lagi mengungguli Ganjar Pranowo dan Ridwan Kamil yang disebut-sebut sebagai pesaing terdekat Anies.
Indikatornya apa?
Indonesia Indicator adalah sebuah perusahaan analisis media. Dengan menggunakan perangkat intelligence media analytics, I2 melakukan riset terkait gubernur yang paling banyak di rujuk media sepanjang 2021. Dalam risetnya, I2 menghimpun hampir 29 juta berita yang bersumber dari 6 ribu lebih media online Indonesia.
Hasilnya? Anies dikutip media sebanyak 127.677 kali. Sementara Ganjar Pranowo dan Ridwan Kamil, masing-masing hanya 85.158 dan 73.567 kali.
Bayangkan, taruhlah kutipan pernyataan Anies itu, dibaca oleh rata-rata hanya sepuluh orang saja, maka, nama Anies dilisankan oleh lebih dari 12 juta orang. Sehingga survei yang menyebut popularitas Anies Baswedan, jauh melampaui kedua pesaingnya, adalah survei yang layak dipercaya.
Adapun survei mutakhir yang mengecilkan Anies pasca survei Kedai Kopi, layak tak dipercaya. Publik lebih percaya bahwa rilis survei semacam itu memiliki tendesi untuk menahan laju Anies. Apatah lagi, hasil survei dimakud cenderung bertolak belakang dengan suasana di ruang publik.
Bukan apa, suasana di ruang publik saat ini, realitasnya sudah condong terbelah dua. Satu belahannya pada Anies, sedangkan belahan lainnya adalah pembenci Anies.
Namun yang menarik di sini, bukan soal belahanya, tetapi lebih pada kegigihan pembenci Anies yang tak henti berupaya men-down grade Anies. Hal ini memberi kesan kalau Anies memang sedang berada jauh di atas.
Sejauh ini, upaya pembenci Anies untuk terus men-down grade Anies yang terbukti gagal, tampaknya menjadi penyebab yang membuat mereka makin gelap mata.
Sehingga apapun yang kira-kira dapat mencelakai Anies, akan dilakukan dan dieksploitasi secara maksimal. Tidak perduli kalau pada akhirnya menjadi bumerang dan kemudian menghasilkan kekonyolan yang mengundang tertawaan publik.
Masih ingat kasus mobil yang terperosok di sumur resapan? Taruhlah bahwa itu benar-benar sebuah “kecelakaan” tanpa diskenario sebelumnya. Tetapi publik kemudian curiga tatkala pemilik mobil itu, sampai bela-belain datang di TKP mengambil gambar lalu memviralkannya.
Lalu, apa kata orang di warung kopi? “Sudah tahu baru dikerja, eh, ngapain pula sopirnya lewat situ?!”
Seingat penulis, cerita tentang sumur resapan telah diproduksi sebanyak tiga episode. Episode pertama berjudul sumur resapan sebagai proyek bodoh. Kedua berjudul sumur resapan mengganggu pengguna jalan. Judul terkahir, itu tadi, mobil terperosok di sumur resapan.
Sayangnya, proyek cerita bersambung sumur resapan tersebut, gagal, lantaran Jakarta tak banjir-banjir juga.
Cerita bersambung sumur resapan yang dibuat sampai tiga episode tersebut, hanyalah contoh kecil, betapa masif dan sistematisnya upaya untuk menjegal Anies.
Tetapi jangan salah. Bahwa para pembenci Anies yang muncul dipermukaan itu, menurut orang-orang di warung kopi, hanyalah alat. Mereka digunakan untuk mencegah bangsa ini memiliki pemimpin yang andal.
“Badut.” Begitu mereka menyebutnya.
(Yarifai Mappeaty, Pemerhati Sosial Politik)