Pola ndablek yang dimainkan. Jangan berharap pada penyebar hoaks mampu membuktikan tuduhan intoleran dan diskriminatif. Mustahil mereka bisa buktikan, karena memang tidak ada bukti yang bisa diberikan. Namun memproduk ujaran yang kebenarannya nol, itu akan terus dilakukan.
SELAMA ini Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, dikesankan kelompok tertentu, melakukan praktik intoleran dan diskriminatif dalam kebijakannya. Berita ini terus membanjiri pemberitaan, khususnya lewat media sosial. Meski bukti tak pernah bisa diberikan pada kasus apa Anies melakukan hal itu.
Tapi ungkapan Anies intoleran dan diskriminatif terus digaungkan. Gaungnya memenuhi jagat pemberitaan, meski bukti seuprit pun tak mampu dimunculkan. Sepertinya bukti menjadi tidak perlu, memang data pendukung tidak dipunya. Terpenting narasi Anies intoleran dan diskriminatif terus dimunculkan.
Tidak terbukti menjadi seolah terbukti, dan itu terus menerus diangkat diberitakan. Apalagi diberitakan masif dan tanpa henti. Memberitakan Anies dengan tidak sebenarnya, itu upaya menipu kelengahan publik yang acap tidak perlu repot-repot melihat bukti, tapi lebih pada mempercayai berita yang terus menerus diberitakan, itu menjadi kebenaran.
Para “pengedar” berita Anies intoleran dan diskriminatif, itu memanfaatkan kelengahan publik dengan sebaik-baiknya. Maka, berita baik bisa diberitakan buruk, dan sebaliknya. Dan media sosial memberi ruang seluasnya untuk munculnya pemberitaan model apa saja, bahkan berita tanpa perlu data penunjang sekalipun.
Upaya yang dilakukan tentulah bukan framing media. Jika framing media, tentu masih lumayan. Masih bisa ditemukan peristiwanya, meski datanya dibuat sekenanya. Pada framing, data bisa dikecilkan atau dibesarkan sesuai yang diharap. Mengecil besarkan sebuah data dalam pemberitaan, itu upaya memberitakan hal yang terjadi tapi tidak dengan sebenarnya. Framing bisa disebut agak lumayan, karena berita tetap diberitakan sebagai sebuah peristiwa, meski dengan data yang dikurangi atau dilebihkan.
Berita yang dimunculkan tentang Anies intoleran dan diskriminatif, itu dimunculkan sepertiĀ dipaksakan, meski tanpa data penunjang, itu bisa disebut berita bohong (hoaks). Sengaja diproduksi terus menerus, sebuah upaya merusak nama baik bersangkutan. Anies diberitakan dengan tidak sebenarnya, khususnya berita intoleran dan diskriminatif, ini seperti langganan saja. Sepertinya sejak awal ia menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, isu itu dimunculkan.
Perilaku intoleran dan diskriminatif dimainkan, karena itu memang isu strategis, bahkan sensitif. Berharap menimbulkan rasa muak yang kental pada publik untuk bisa menghakimi seorang Anies Baswedan.
Intoleran dan diskriminatif masuk perbuatan primitif, semacam membunuh pemenuhan hak-hak dasar manusia. Isu paling menakutkan bagi kelompok minoritas, ini sepertinya akan terus dimainkan sampai 2024. Menjadi strategis memunculkan rasa muak dan kemarahan, tanpa publik perlu melihat benar tidaknya pemberitaan yang dimunculkan.
Doktrin Goebbels Jadi Model
Argentum ad nausem, atau populer biasa disebut sebagai Big Lie (kebohongan besar), itu teknik ramuan Joseph Goebbels. Sebagai menteri Propaganda Nazi, Goebbels suksesĀ menjual propaganda kebohongan. Goebbels bisa disebut sebagai Bapak Kebohongan.
Teknik yang dipakai adalah menyebarkan berita bohong, terutama melalui media massa (cetak), semasif dan sesering mungkin. Hingga pada akhirnya kebohongan itu dianggap sebagai sebuah kebenaran.
Ajaran paling populernya sampai sekarang dipakai para penyebar berita-berita hoaks. Goebbels jadi model menipu nalar publik.
“Kebohongan yang dikampanyekan secara terus-menerus dan sistematis akan berubah menjadi (seolah-olah) kebenaran.”
Itulah doktrin Goebbels.
Maka pola yang digunakan dalam penyebaran hoaks para buzzer dalam menggebuk Anies Baswedan, tentang intoleran dan diskriminatif, sama dengan yang diajarkan Goebbels. Hajar terus meski dengan berita tanpa data. Pemberitaan hoaks yang terus dicekokkan, jika tanpa kounter narasi, lambat laun menjadikan masyarakat mempercayai.
Pola ndablek yang dimainkan. Jangan berharap pada penyebar hoaks mampu membuktikan tuduhan intoleran dan diskriminatif. Mustahil mereka bisa buktikan, karena memang tidak ada bukti yang bisa diberikan. Namun memproduk ujaran yang kebenarannya nol, itu akan terus dilakukan.
Mereka memang di-setting untuk hanya memberitakan berita yang tidak sebenarnya. Menggunakan komunikasi searah. Tidak timbal balik dengan memberi pertanggungjawaban atas apa yang disampaikan.
Pada era media sosial seperti sekarang ini, tentu penyebaran berita hoaks secara masif dan terus-menerus pastilah akan lebih dahsyat, ketimbang di era Goebbels dulu. Era Goebbels hanya mengandalkan media cetak, yang efektivitasnya pastilah tidak sedahsyat saat ini. Di mana berita bisa dibuat tiap detik, tidak harus menunggu sehari.
Anies Baswedan diserang isu-isu hoaks, itu tampaknya akan terus dilakukan saban waktu. Tinggal bagaimana menangkis berita-berita hoaks secara masif dan terus-menerus bisa dilakukan. Agar berita hoaks yang diproduksi tidak dengan mudah melenggang masuk di benak publik, yang menganggap sebagai kebenaran.
Perang opini dua kubu ini akan diuji. Seberapa efektif hoaks disebar, dan seberapa kuat hoaks ditangkal agar publik tidak mempercayai berita bohong itu begitu saja. Wallahu a’lam. (*)