Figur publik harus banyak belajar dari masyarakat Minang, Sumatera Barat yang memiliki cara pandang berbeda-beda meski masih dalam satu kelompok.
JAKARTA | KBA – Akhir-akhir ini banyak publik figur yang anti terhadap kritik, hingga langkah untuk menghindari kritik tersebut dengan cara membungkam para pengkritik. Padahal, kritik merupakan salah satu cara untuk mengontrol jalannya pemerintah agar terus membaik.
Sikap membungkam pengkritik ini nampaknya tidak disetujui oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, karena buat Anies kritik merupakan proses pendidikan bagi publik, dan nanti publik akan belajar dari apa yang disampaikan lewat kritik tersebut.
“Kenapa kritik itu tidak boleh dibungkam, karena itu sesungguhnya proses pendidikan bagi kita. Ini yang nantinya dengar fodcase kita kemudian yang menonton di tv dan lain-lain, mereka itu sebetulnya sedang melakukan proses mendengarkan, belajar,” kata Anies dalam Channel YouTube ‘Total Politik’ yang dikutip KBA News di Jakarta, Sabtu 22 Januari 2022.
Dikatakan mantan menteri pendidikan dan kebudayaan itu, jika seseorang mendapat kesempatan untuk berbicara di depan umum, maka yang harus disampaikan adalah fakta bukan fiksi. Meski fakta tersebut disampaikan dalam bentuk kritik, namun hal tersebut jauh lebih baik ketimbang harus tang disampaikan tidak benar.
“Kalau kita dapat kehormatan untuk bicara, maka hormati pendengar kita dengan menyampaikan fakta, dan sampaikan perspektif pakai fakta, perspektifnya kritik nggak apa-apa tapi pakai fakta, sampaikan perspektif yang mendukung nggak apa-apa,” ucapnya.
“Yang repot itu kan perspektifnya kritik pakainya fiksi, itu repot kita, kalau pake fakta nggak apa-apa kita bisa ngobrol, justru itulah yang membuat bangsa kita semakin tercerahkan karena dia mendengarkan perspektif berbeda-beda,” jelasnya.
Dijelaskan Anies Baswedan, figur publik harus banyak belajar dari masyarakat Minang, Sumatera Barat yang memiliki cara pandang berbeda-beda meski masih dalam satu kelompok. Kebiasaan masyarakat Minang ini telah dimulai sejak muda, dimana hampir setiap malam hari mereka berdebat di Surau (tempat mengaji) dengan pandangan yang berbeda, tetapi yang disampaikan adalah fakta dan semu menerima perbedaan tersebut.
“Kenapa dulu masyarakat Minang contohnya, anak-anak muda itu punya perspektif bervariasi, karena mereka kalau malam tinggal di surau, menginap di surau dan di surau itu terjadi perdebatan, orang yang datang dari mana-mana yang punya pandangan berbeda-beda, lalu anak-anak muda itu mendengarkan di situ, anak-anak muda itu menangkap tapi yang dibicarakan apa, fakta,” pungkasnya. (kba)