Anies Baswedan seolah menjadi penyambung lidah dan penerjemah gagasan Soekarno melawan tirani dan ketidakadilan.
Sejarah Pergerakan Indonesia mencatat, semangat Soekarno membebaskan Indonesia dari cengkeraman imperialisme tidak diragukan lagi. Bahkan, pikiran-pikiran dan berbagai aktivitas Soekarno membuatnya berkali-kali ditahan dan diasingkan oleh kekuatan imperialis.
Tidak sekadar berjuang untuk kemerdekaan, lebih jauh dari itu Soekarno ingin meletakkan dasar bahwa setiap bangsa, setiap manusia, harus diperlakukan adil untuk mendapatkan hak-haknya. Soekarno sangat menentang penjajahan dan penindasan — cikal bakal ketidakadilan.
Semangat tersebut terekam 77 tahun silam ketika Konferensi Asia-Afrika (KAA) dilaksanakan di Bandung pada 18 April 1955. “Saya berharap Konferensi ini akan menegaskan kenyataan bahwa pemimpin-pemimpin Asia dan Afrika mengerti bahwa Asia dan Afrika hanya dapat menjadi sejahtera apabila mereka bersatu dan, bahkan, keamanan seluruh dunia tanpa persatuan Asia-Afrika tidak akan terjamin,” kata Presiden Soekarno pada pidato pembukaan KAA.
Pasang surut kepemimpinan pascakemerdekaan mengalami dinamika yang luar biasa. Terlepas dari kelebihan dan kekurangan masing-masing pemimpin Indonesia, setiap orang yang memegang kepemimpinan sebagai amanah, ia pun dituntut menunaikan dan mewujudkannya.
Amanah konstitusi kita, Pembukaan UUD 1945, menegaskan bahwa tugas Negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, mewujudkan kesejahteraan umum, dan anti-penjajahan, apalagi berkolusi dengan para penjajah dalam semangat menjajah bangsa sendiri.
Bahkan, Soekarno mengingatkan kita, pascakemerdekaan musuh yang paling berbahaya bukanlah penjajah asing, tapi justru penjajah dari bangsa sendiri. Bagi Soekarno, tak ada kompromi kepada siapa pun bila berusaha menindas bangsa sendiri, apalagi berkolusi dalam semangat menjarah bangsa sendiri.
“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri,” ujar Soekarno mengingatkan dalam pidato Peringatan Hari Pahlawan, 10 November 1961.
Semangat melawan penjajahan oligarki, kolusi pengusaha dan penguasa yang menindas, serta menjarah kekayaan negeri nampaknya terpotret dalam sepak terjang Anies selama memimpin Jakarta. Semua janji dan komitmennya menyejahterakan rakyat Jakarta ditunaikan satu per satu. Anies tak rela warga Jakarta menjadi asing di kotanya sendiri, apalagi sampai terusir.
Anies seolah menjadi penyambung lidah Soekarno dan penerjemah gagasan Soekarno melawan tirani dan ketidakadilan. Tanpa basa-basi, ia pun menghentikan reklamasi yang dilakukan pengusaha karena, bagi Anies, itu cermin ketidakadilan dan penjajahan gaya baru — seperti David melawan Goliath.
Semangat ideologis lain yang dilakukan Anies adalah menaikkan upah minimum provinsi (UMP) DKI 5,1 persen. Langkah Anies ini jelas-jelas bakal menghadapkannya dengan para pengusaha dan pemilik modal di Jakarta. Namun, Anies tidak gentar.
Dalam sebuah forum dengan para pengusaha, Anies menjelaskan logika kenaikan UMP 5,1 persen tersebut. Para pengusaha pun tak berkutik menghadapi logika dan rasionalitas yang dipilih Anies dalam menaikkan UMP Jakarta.
Para buruh pun bergembira. Bahkan, konon yang dilakukan Anies menjadi semangat para buruh di daerah-daerah lain mendesak para pemimpinnya mengikuti langkah Gubernur DKI Jakarta itu yang, jelas-jelas, berpihak pada buruh dan rakyat kecil.
Tak henti di situ. Selama memimpin Jakarta Anies pun semakin heroik secara ideologis membebaskan tanah warga yang dijarah oleh jajaran kekuasaan sebelumnya. Ia menyelamatkan tanah kepemilikan warga yang selama ini nyaris hilang akibat Keputusan Gubernur No 122 Tahun 1997 tentang Penetapan Penguasaan Bidang Tanah 23 Hektare di Kelurahan Petamburan, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Aturan ini berisi larangan mendirikan bangunan di kawasan tersebut.
Sebagai gantinya, Anies menerbitkan Keputusan Gubernur No 1596 Tahun 2021 tentang Pencabutan Keputusan Gubernur Nomor 122 Tahun 1997. Seiring pencabutan itu, warga di wilayah tersebut bisa memiliki kembali haknya atas tanah dan mendirikan bangunan.
Kebijakan Anies tersebut harus dipahami sebagai sebuah upaya mewujudkan kesejahteraan dan keadilan untuk rakyat Jakarta. Sudah semestinya hak rakyat dilindungi dan dijamin. Kewajiban negara harus dijalankan.
Sebagaimana Soekarno yang diasingkan, dihujat, dan difitnah oleh imperilis sebagai inlander yang radikalis, ekstremis, maupun julukan-julukan sejenis lainnya yang melemahkan, Anies mengalami hal serupa. Apa pun yang dilakukan Anies untuk kebaikan masyarakat Jakarta tidak akan ada baiknya bagi kalangan kaum oligarki dan kaum bayaran para penjajah. Anies pun dituduh sebagai pembohong, intoleran, memperkaya diri sendiri, dan lainnya yang tidak pernah bisa mereka buktikan kebenarannya.
Bagi mereka, Anies adalah ancaman sebagaimana Soekarno menjadi ancaman bagi kaum penjajah dan penjarah kekayaan negara.
Kalau toh Soekarno masih hidup, ia akan tersenyum melihat sepak terjang Anies yang mewarisis semangatnya melawan tirani dan ketidakadilan yang dilakukan oleh bangsa sendiri. Jika Anies sering dianggap salah oleh lawan-lawan politiknya ketika menjalankan tugas menyejahterakan dan melindungi warga Jakarta, percayalah bahwa yang dilakukan para pembencinya itu merupakan bagian dari pengkhianatan semangat ideologis Soekarno dalam melawan tirani penjajah bangsa sendiri.
Semoga Ibu Pertiwi bisa tersenyum lagi…
Surabaya, 22 Januari 2022
(Isa Ansori – Kolumnis)