Kala Anies menjadi Ketua Senat Mahasiswa (Sema) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, yang luar biasa adalah pesan-pesannya, inspirasi-inspirasinya yang selalu menuju ke masa depan. Hal ini sangat penting untuk asupan energi positif bagi generasi muda.
JAKARTA | KBA – Dalam berbagai kesempatan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengidentikkan pemuda dengan kebaruan, mampu menjawab persoalan zamannya, dan memberikan solusi atas persoalan pada masa depan.
Sedangkan tantangan yang kini dihadapi bangsa Indonesia adalah ketimpangan antara yang terdidik dan tak terdidik, yang bekerja dan tak bekerja, yang berpunya dan tak berpunya, antara kota dan desa, antara daerah pulau yang maju dan yang belum berkembang. Akan sulit sekali membangun dalam situasi ketimpangan. Membangun hanya bisa dilakukan dalam suasana perasaan kesetaraan.
Tantangan yang kedua adalah kerusakan alam atau lingkungan hidup. Alam tempat semua kita tinggal, bumi ini mengalami kerusakan luar biasa (climate change) akibat ulah manusia yang tidak bertanggung jawab. Untuk itu, selain anak muda, umat Islam harus berkontribusi memikirkan umat manusia.
Bagi Guru Besar Bidang Sumber Daya Manusia Univeritas Muhammadiyah Yogyakarta Heru Kurnianto Tjahjono, Anies Baswedan adalah sosok fighter outside sekaligus peaceful inside. Ini model leadership yang luar biasa. “Di luar, dia sosok pejuang yang berorientasi solusi yang ditawarkan kepada satu problem, di sisi lain peaceful. Ini sesuatu yang tidak mudah,” katanya kepada KBA News, Rabu, 12 Januari 2022.
Kala Anies menjadi Ketua Sema UGM, kata Heru, yang luar biasa adalah pesan-pesannya, inspirasi-inspirasinya yang selalu menuju ke masa depan. Hal ini sangat penting untuk asupan energi positif bagi generasi muda. “Saya terinspirasi, yang namanya muda adalah cara berpikir. Jadi kita banyak memikirkan masa depan, meskipun tidak selalu melupakan masa lalu. Fokusnya ke depan,” ujar dia.
Menurut Heru, kondisi karut marut saat ini berkait dengan adanya sekadar semangat mengejar performance atau kinerja. Padahal, suasana iklim yang kondusif harus dibangun dan perlu lahir pemimpin-pemimpin muda masa depan.
“Jadi, saatnya kita menjadi leader buat masa depan. Sebelum itu, leading self dulu. Kita bisa peaceful inside saat kita bisa leading self dulu. Kita harus bisa memunculkan energi positif untuk bertukar pikiran. Lalu kita memunculkan keputusan-keputusan untuk bersyukur. Nah, energi dalam Islam itu bersyukur. Bersyukur itu memunculkan kebahagiaan dan keberlimpahan mental. Dari situ, insya Allah kita kontributif ke organisasi, kontributif kepada bangsa ini.
Heru berpendapat, strategi, teknik, pengetahuan itu penting. Namun, yang tak kalah penting adalah soft skill yang mampu memunculkan energi-energi positif yaitu pencapaian prestasi, soft skill terkait integritas. Tidak mudah menjadi pemimpin yang memiliki strong leadership kalau belum jujur pada diri sendiri.
“Saya kira ini salah satu tahapan penting terutama refleksi buat kita. Inspirasi dan pesan-pesan kemajuan dan juga kalau bicara sumpah pemuda terkait sebuah mimpi yang sifatnya imajiner karena sebenarnya Indonesia belum ada saat itu, tetapi sudah ada dalam pikiran dan perasaan kita. Jadi saya membayangkan, software kita harus lebih dulu daripada action-action kita. Kalau Pak Gubernur Anies Baswedan sering mengatakan gagasan, narasi, dan kerja. Gagasan tak terlepas dari mimpi-mimpi ke depan kita sebagai leader,” tutur dia.
Menurut Heru, mentalitas itu bisa dibangun lewat pendidikan. Kalangan muda perlu menempatkan diri sebagai sutradara sekaligus aktor untuk membangun integritas, energi positif, dan karakter pembelajar. “Leadership juga terkait agen perubahan dan karakter untuk selalu berubah lebih baik dari waktu ke waktu,” katanya.
Heru pun merekomendasikan bahwa generasi muda perlu membangun kecerdasan komprehensif yang meliputi intellectual quotient, emotional quotient, execution quotient, adversity quotient, dan spiritual quotient. “Spiritualitas harus benar-benar mengisi ruang batin kita. Spiritulitas kita itu yakin akan pertemuan dengan Tuhan. Selain itu kesadaran yang dibangun perlu melintasi level fisik, materi, instingtif, hingga mencapai level silaturahmi. Energi silaturahmi, energi tanpa syarat inilah energi yang nantinya mengguncangkan langit karena ketulusan serta keikhlasan.” (kba)