Akademi Jakarta mengurai gejala penghancuran nalar publik ke dalam lima permasalahan mendasar yakni bidang pendidikan, lingkungan hidup, bidang sosial, ekonomi, dan politik.
JAKARTA | KBA – Pandemi Covid-19 memaksa manusia di seluruh dunia mengubah cara hidup dengan kemampuan adaptasi berbeda-beda. Kemunculan pandemi yang berdampak multidimensi tidak dapat dilepaskan dari cara pikir dan cara tindak manusia yang telah mempercepat perubahan karakter alam dan interaksi di dalamnya.
“Penanganan berdasarkan protokol kesehatan saja tidak memadai. Diperlukan koreksi mendasar terhadap kebersalahan akut yang terjadi selama ini,” demikian salah satu poin penting yang mengemuka saat Akademi Jakarta menyampaikan rekomendasi bertajuk Cegah Penghancuran Nalar Publik, Jumat 28 Januari 2022.
Konferensi pers yang dibuka oleh anggota Akademi Jakarta Syamsuddin Ch. Haesy itu dihadiri pula di antaranya Seno Gumira Ajidarma, Hamento Kusumawidjaja, Karlina Supeli, Ratna Riantiarno, Afrizal Malna, Armantono, Anto Hoed, Dolorosa Sinaga, Kusmayanto Kadiman, Sandyawan Sumardi, dan Tisna Sanjaya.
Akademi Jakarta mengurai gejala penghancuran nalar publik ke dalam lima permasalahan mendasar yakni bidang pendidikan, lingkungan hidup, bidang sosial, ekonomi, dan politik.
Kekeliruan kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang telah merusak daya dukung lingkungan, penguasaan aset dan akses yang timpang, serta kecenderungan praktik politik dan hasrat berkuasa yang membiarkan kekuatan oligarki dan korupsi mencederai hukum serta melemahkan demokrasi, menunjukkan bahwa prinsip tata kelola hidup bersama yang berorientasi pada keadilan, kerakyatan, dan kemanusiaan telah terkikis.
Belum lagi kehidupan bersama belakangan ini semakin ditandai dengan pemaksaan kehendak, sikap eksklusif, dan intoleran yang menyuburkan cara hidup anti-demokrasi. Pemisahan berdasarkan identitas dalam ruang pemukiman, ruang konsumsi, ruang pendidikan dan ruang publik lainnya justru dipromosikan untuk kepentingan bisnis dan ideologis.
Keadaan ini menyuburkan radikalisasi dan ekstremitas dalam berbagai aspek kehidupan, serta mempercepat pengerdilan nilai-nilai dan kebajikan agama sebagai cara hidup menjadi semata-mata dogmatisme yang akan menguatkan irasionalitas masyarakat.
Untuk memahami sengkarut masalah diperlukan penalaran yang jernih. Sayangnya, kemampuan berpikir kritis justru sedang tertantang oleh laju pesat teknologi informasi yang ternyata tidak diikuti dengan sikap bijak dalam penggunaannya.
Muncul kecenderungan untuk bersegera mengakses informasi dari internet dan bersegera pula menyebarkan tanpa memprosesnya secara kritis. Kebutuhan untuk “mengada” dan “selalu tampil” di dunia digital mengalahkan pentingnya informasi yang benar.
Berita sensasional, kontroversial, dan komentar emosional lebih memikat ketimbang pemikiran serius yang dianggap tidak praktis dan abstrak. Perkara ini menjadi semakin serius ketika informasi diyakini benar karena cocok dengan emosi dan selera pribadi.
Kengganan untuk membuka diri terhadap argumen yang tidak disukai atau tidak sejalan dengan keyakinan mengakibatkan kehidupan publik dikendalikan oleh informasi seturut kepentingan atau pilihan kelompok. Alih-alih menjadi sarana pematangan kebinekaan, ruang digital dijejali ujaran kebencian dan kebohongan yang mempertajam keterbelahan ruang sosial.
Sementara itu, ruang gerak sipil sebagai sarana untuk mengontrol kekuasaan juga menyempit; kritik kerap ditanggapi dengan tindakan represif. Gejala itu mengisyaratkan sedang berlangsung penghancuran nalar publik sebagai kesadaran kritis bersama untuk menilai gagasan, peristiwa, dan kebijakan berdasarkan pertimbangan kemaslahatan umum.
Jika dibiarkan, gejala ini dikhawatirkan akan melemahkan kebudayaan serta mengancam keberlanjutan dan ketangguhan Indonesia sebagai bangsa dalam menghadapi tantangan zaman yang semakin pelik. (kba)