Indonesia dikelompokkan ke dalam demokrasi cacat (flawed democracy) dengan kinerja paling buruk, terjun bebas 16 peringkat, dari urutan 48 pada 2016 ke 64 tahun lalu (EIU 2020).
Terancamnya kebebasan sipil menjadi salah satu faktor paling menentukan kemerosotan kondisi dan peringkat demokrasi Indonesia.
Merujuk Laporan Pembangunan Manusia 2020 oleh UNDP, dengan nilai IPM 0.718, bersama Filipina dan Bolivia, Indonesia berada di peringkat 107, dari 189 negara. Tertinggal jauh dari Thailand (ranking 79), dan tiga negara anggota ASEAN yang masuk dalam kelompok IPM sangat tinggi, yaitu Singapore, Brunei Darussalam, dan Malaysia.
PEMBANGUNAN manusia dan demokrasi ibarat dua sisi dari sekeping mata uang. Dalam Laporan Pembangunan Manusia 2002 oleh Program Pembangunan PBB (UNDP), bertema “Deepening Democracy in a Fragmented World,” disebutkan bahwa demokrasi adalah tujuan penting pembangunan manusia, bukan saja sarana untuk mencapainya.
Paradigma pembangunan manusia menempatkan manusia sebagai titik sentral pembangunan. Tujuanya menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi rakyat untuk menikmati kehidupan yang panjang, sehat, berilmu pengetahuan, dan kreatif (Mahbub ul-Haq, 1990).
Amartya Sen (1999), rekan ul-Haq, yang meletakkan landasan konseptual pembangunan manusia, mendefinisikan pembangunan sebagai kebebasan (development as freedom). Bagi Sen, “kebebasan” tidak saja menjadi tujuan utama pembangunan, tetapi juga merupakan sarana penting untuk mencapai tujuan-tujuan lainnya.
Seturut dengan itu, demokrasi yang juga berlandaskan kebebasan tidaklah sebatas “prosesi elektoral” untuk memilih atau mengganti pemimpin eksekutif dan anggota parlemen. Prosesi elektoral sebagai bagian demokrasi prosedural hanyalah serpihan kecil dari narasi besar demokrasi.
Demokrasi juga bukan semata soal kelembagaan politik dan kekuasaan mayoritas. Partisipasi masyarakat, penghormatan terhadap hak asasi manusia dan keberagaman, serta “kebebasan negatif” (bebas dari berbagai bentuk deprivasi) dan “kebebasan positif” (bebas untuk mengakses hak-hak sosial-politik dan ekonomi) menjadi bagian substansi demokrasi.
Kemudian, kedaulatan rakyat, arus informasi bebas, persamaan di depan hukum, transparansi dan akuntabilitas pemerintahan. Semuanya merupakan “bahan baku” demokrasi, yaitu demokrasi substantif.
Hampir semua bahan baku demokrasi substantif, merupakan elemen penting pembangunan manusia. Landasan prinsipil keduanya adalah kebebasan, baik “kebebasan positif” maupun “kebebasan negatif”.
Korelasi integral antara demokrasi dan pembangunan manusia secara simtomatik dapat dilihat dari status indeks demokrasi dan indeks pembangunan manusia (IPM) berbagai negara.
Indeks demokrasi versi The Economist Intelligence Unit (EIU) mencakup lima kelompok variabel, yaitu pluralisme dan proses elektoral, kebebasan sipil, keberfungsian pemerintah, partisipasi politik, dan budaya politik.
Sedangkan, IPM dari UNDP merupakan gabungan indikator penting untuk mengukur tingkat kualitas hidup manusia, yang dibentuk tiga dimensi dasar, yaitu umur panjang dan hidup sehat (a long and healthy life), pengetahuan (knowledge), dan standar hidup layak (decent standard of living).
Kelompok negara dengan indeks demokrasi tinggi selalu menempati posisi puncak dalam IPM dan unggul di berbagai sektor. Sebut saja Norwegia, Denmark, Swedia, Canada, Australia, Selandia Baru, Jepang, Korea Selatan, dan Costa Rica.
Di lain pihak, dengan sedikit perkecualian seperti Singapura, Cina, Rusia, Arab Saudi dan beberapa negara teluk lainnya, negara-negara non-demokrasi mendominasi posisi rendah dan terendah dalam IPM. Tidak sedikit diantaranya dilanda kelaparan kronis, kemiskinan dan ketimpangan akut, disertai konflik horizontal dan vertikal tak berkesudahan. Bahkan masuk dalam perangkap negara gagal.
Sementara itu, Indonesia selama tujuh tahun terakhir secara simultan mengalami regresi ektstrem demokrasi dan stagnasi pembangunan manusia, diikuti kemerosotan di berbagai bidang. Makin tertinggal dari negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Timor Leste, yang bergerak ke arah pendulum demokrasi.
Indonesia dikelompokkan ke dalam demokrasi cacat (flawed democracy) dengan kinerja paling buruk, terjun bebas 16 peringkat, dari urutan 48 pada 2016 ke 64 tahun lalu (EIU 2020). Terancamnya kebebasan sipil menjadi salah satu faktor paling menentukan kemerosotan kondisi dan peringkat demokrasi Indonesia.
Dalam IPM, Indonesia masih berada di “tangga-bawah IPM kategori tinggi.” Merujuk Laporan Pembangunan Manusia 2020 oleh UNDP, dengan nilai IPM 0.718, bersama Filipina dan Bolivia, Indonesia berada di peringkat 107, dari 189 negara. Tertinggal jauh dari Thailand (ranking 79), dan tiga negara anggota ASEAN yang masuk dalam kelompok IPM sangat tinggi, yaitu Singapore, Brunei Darussalam dan Malaysia. IPM Indonesia juga jauh lebih rendah dari rerata IPM kawasan Asia-Timur dan Pasifik, yang mencapai 0.747.
Namun, di tengah kemerosotan multidimensi Indonesia, DKI Jakarta tampil gemilang. Dalam waktu relatif singkat, di bawah kepemimpinan Anies Baswedan, indeks demokrasi dan IPM Ibukota tidak saja pulih tetapi tumbuh dengan sangat pesat.
Seperti terungkap dari data BPS (2021), indeks demokrasi DKI Jakarta tergolong sangat tinggi mencapai skor 89,21, jauh melampaui indeks demokrasi nasional sebesar 73,66.
Pada saat yang sama, IPM yang mencapai 80,77 pada 2020 menjadikan DKI Jakarta sebagai satu-satunya provinsi dengan status capaian IPM yang sangat tinggi (skor≥ 80). Setara dengan kondisi pembangunan manusia negara-negara maju.
Sektor pembangunan lainnya, yang terkait langsung dan tidak langsung dengan demokrasi dan pembangunan manusia, juga menunjukkan tren positif. Proporsi penduduk miskin yang sangat rendah terus turun, sebelum COVID-19, mencapai 3.42% pada September 2019. Kohesi sosial dan kerukunan antar ummat beragama semakin baik, mengantarkan DKI Jakarta dianugerahi Harmony Award 2020 oleh Kementerian Agama RI.
Secara fisik, Jakarta berubah drastis, makin tertata dan indah. Sarana publik seperti jalan raya dengan Jembatan Penyeberangan Orang (JPO), halte, dan trotoar, dibuat semenarik dan senyaman mungkin bagi seluruh lapisan masyarakat, termasuk kelompok lansia, dan penyandang disabilitas. Taman kota dan tempat bermain anak bertaburan di berbagai penjuru Ibu Kota.
Selain itu, dengan spirit kolaborasi dan menghadirkan kebersamaan, kesetaraan serta, keadilan sebagai bahan baku demokrasi dan pembangunan manusia, transportasi umum di Ibukota dibuat semakin terintegrasi, baik secara fisik, maupun sistem pembayaran.
Stasiun kereta api telah terhubung dengan sejumlah moda transportasi publik termasuk MRT, Transjakarta, Jaklingko, bajaj, ojek pangkalan dan ojek online. Sehingga, masyarakat bermigrasi menggunakan transportasi umum karena terjangkau baik rute maupun biaya dengan waktu tempuh yang lebih singkat.
Lebih jauh, sebagai wujud kepedulian terhadap lingkungan, pemprov DKI Jakarta menyediakan Jalur Sepeda yang hingga kini, mencapai sekitar 96 km, dan akan terus ditambah hingga akhir 2021.
Kombinasi sarana publik yang aman dan nyaman dengan transportasi umum yang terintegrasi dan ramah lingkungan berkontribusi terhadap berkurangnya tingkat kemacetan di Jakarta.
Berdasarkan Indeks Lalu Lintas yang dirilis TomTom, pada tahun 2017, Jakarta menempati peringkat ke-4 sebagai kota termacet di dunia, kemudian turun ke posisi 7 (2018), posisi 10 (2019), dan posisi 31 (2020).
Dihentikannya proyek reklamasi para taipan di Teluk Jakarta yang bernilai sekitar 500 triliun, juga patut diacungi jempol. Sebab, para taipan ini merupakan agen sentral oligarki, yang mengatur jalannya pusat kekuasaan ekonomi politik dan menjadi induk berbagai masalah struktural yang dihadapi bangsa Indonesia. Kemunduran demokrasi dan stagnasi pembangunan manusia Indonesia tidak lepas dari cengkraman ekonomi politik para taipan.
Dengan landasan demokrasi dan pembangunan manusia yang kokoh, DKI Jakarta tidak saja mampu keluar dari tekanan pandemi Covid-19, tetapi juga akseleratif dalam pencapaian visi Jakarta menuju kota yang berkelanjutan, modern, sejahtera, dan tangguh demi kebahagiaan warganya.
Jakarta, 21 Desember 2021
(Abdurrahman Syebubakar, Ketua Dewan Pengurus Ide, Alumnus Universitas Mataram/UNRAM)