Anies Baswedan telah mendapatkan lebih daripada apa yang mungkin dia harapkan. Dan ia telah selesai dengan dirinya. Tapi masih ada satu hal yang mengganggu tidur malamnya, yaitu obsesi memajukan bangsa ini melalui pendidikan.
CAPAIAN-capaian (achievement) pribadi terjauh telah diraih Anies Baswedan. Dalam bidang pendidikan, Anies bergelar master bidang ekonomi dan doktor bidang politik yang ditempuh di Amerika Serikat. Dalam usia tergolong muda, Anies terpilih menjadi Rektor Universitas Paramadina. Ketika terjun ke politik pada 2014, Anies langsung direkrut menjadi Juru Bicara Tim Sukses Joko Widodo. Ia bahkan berperan penting dalam mengatur strategi debat Jokowi dengan lawannya, yakni Prabowo Subianto. Dan ia berhasil. Jokowi dengan pasangannya mengalahkan Prabowo dengan pasangannya.
Anies kemudian menjadi menteri pendidikan dan kebudayaan. Kini, sejak 2017, Anies adalah Gubernur DKI Jakarta yang menjadi pusat perhatian publik Indonesia dan global belakangan ini karena ia berhasil membenahi kota ini menjadi kota yang layak huni dan bergengsi.
Kecuali Ali Sadikin, tidak ada gubernur DKI sebelumnya yang sukses mengubah Jakarta sedemikian rupa sehingga tiba-tiba saja warganya bahagia dan bangga pada kotanya, sesuai tagline “Indah Kotanya Bahagia Warganya.”
Memang di tangan Anies, Jakarta berubah menjadi kota yang indah dan nyaman bagi semua. Dan sebentar lagi Jakarta menjadi tuan rumah balap Formula-E dan pertandingan klub bola elite dunia di stadion olah raga bertaraf internasional.
Kok bisa? Memang Anies sering menghadirkan hal-hal yang tak terpikirkan sebelumnya oleh kebanyakan orang. Karena prestasi kerja dan pemikiran-pemikirannya yang tak biasa, ia diganjar puluhan penghargaan bergengsi dari dalam maupun luar negeri. Di antaranya, ia dinobatkan sebagai salah satu tokoh dunia yang berpengaruh.
Dus, Anies telah mendapatkan lebih daripada apa yang mungkin dia harapkan. Dan ia telah selesai dengan dirinya. Tapi masih ada satu hal yang mengganggu tidur malamnya, yaitu obsesi memajukan bangsa ini melalui pendidikan.
Hal ini dapat dilihat sebagai ekspresi nasionalisme Anies. Jauh sebelum terjun ke dunia politik, ia sudah lebih dulu berkiprah di dunia pendidikan dengan mendirikan gerakan “Indonesia Mengajar”, lembaga swadaya masyarakat yang menghimpun dan memobilisasi anak-anak muda urban yang terdidik untuk diterjunkan ke seluruh pelosok negeri di mana anak-anak bangsa tak mendapat akses pendidikan berkualitas yang setara dengan saudara-saudaranya di kota. Bahkan masih banyak yang tak mendapatkan akses pendidikan sama sekali. Keponakan perempuan saya dari Jakarta dikirim ke Serui, sebuah desa terpencil di Papua, yang belum mendapat akses listrik, untuk mengajar pada anak-anak di sana selama berminggu-minggu.
Memang pendidikan di Indonesia sudah lama menjadi keprihatinan para pemerhati, baik aspek kualitas maupun aspek keadilan akses bagi semua anak bangsa. Namun, baru Anies yang mengambil langkah kongkret dalam meningkatkan kualitas dan pemerataan pendidikan di negeri ini, bahkan saat ia tak punya duit dan kekuasaan untuk mewujudkan obsesinya itu.
Hati dan benak Anies dipicu oleh kenyataan anak-anak di kota-kota besar di Jawa telah menikmati fasilitas pendidikan modern dengan guru-guru yang relatif lebih berkualitas, sementara puluhan ribu desa di berbagai pelosok tanah air tak mendapatkan kemewahan itu. Bahkan, sekadar memiliki gedung sekolah yang memadai sekali pun mereka tak punya. Guru-guru ogah dikirim ke desa yang tanpa penerangan listrik dan merupakan sarang penyakit, sementara gaji mereka jauh dari cukup.
Status quo ini, yakni kalau kesenjangan pendidikan antara anak kota dan desa terus dipelihara, maka bukan saja menghambat akselerasi pembangunan bangsa, tapi juga dapat menganggu keamanan negara.
Membiarkan bertahannya ketidakadilan bidang pendidikan juga menyalahi semangat Pancasila, sila kedua dan kelima yang pada gilirannya, mengancam persatuan Indonesia (sila ketiga). Juga mengabaikan amanat konstitusi yang menugaskan negara mencerdaskan semua anak bangsa.
Lebih dari itu, Anies menyadari bahwa pendidikan adalah variabel kunci dalam memajukan sebuah bangsa. Sebagai penggemar sejarah dunia, ia tahu beberapa bangsa berhasil melakukan lompatan jauh ke depan yang menakjubkan berkat keberhasilan di bidang pendidikan.
Jepang, misalnya. Negara ini nyaris terisolasi dari dunia beradab selama ribuan tahun. Baru setelah takjub melihat kunjungan kapal perang AS di bawah Commodore Perry pada pertengahan abad ke-19, Jepang segera melakukan reformasi menuju modernisasi di segala bidang yang dikenal sebagai Restorasi Meiji pada paruh kedua abad ke-19. Pembenahan pendidikan menjadi prioritas. Tak sampai setengah abad, yakni pada 1904, Jepang menaklukkan Imperium Rusia, salah satu kekuatan militer Eropa yang disegani, dalam perang singkat.
Inilah untuk petama kalinya dalam sejarah modern sebuah bangsa Asia — bahkan bangsa Asia yang tak dikenal — menaklukkan bangsa Eropa. Pada sisi Perang Pasifik dalam Perang Dunia II, Jepang membuktikan diri sebagai bangsa yang ahli berperang modern melawan AS. Sekiranya AS tak menjatuhkan dua bom nuklir di Hiroshima dan Nagasaki, belum tentu AS bisa mengalahkan musuhnya. Kini Jepang merupakan salah satu negara maju yang kaya. Besaran ekonominya merupakan nomor tiga setelah AS dan China.
Tak usah jauh-jauh. Ambil contoh Korea Selatan (Korsel) saja. Pada 1950-an Korsel sekelas dengan Indonesia: miskin dan ketinggalan di semua bidang. Apalagi selama tiga tahun (1950-1953), Korsel terlibat perang besar melawan saudaranya di utara. Tapi berkat pendidikan yang diprioritaskan negara pascaperang, kini negara ginseng itu muncul sebagai negara kaya dan maju di segala bidang, meninggalkan bangsa kita jauh di belakang.
Korea Selatan memiliki industri elektronik dan digital serta produsen alutsista militer modern yang merupakan salah satu termaju di dunia. Perusahaan-perusahaan raksasanya bertebaran di seluruh dunia. Indonesia pun menjalin kerja sama dengan negara ini di berbagai bidang untuk menyerap teknologinya.
Kemajuan Korsel mengingatkan kita pada desakan B.J. Habibie agar Indonesia meningkatkan sumber daya manusia melalui pendidikan, khususnya di bidang teknologi, untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk Indonesia.
Menurut Habibie, hanya dengan SDM yang berkualitas, Indonesia dapat survive di dunia yang penuh persaingan dan dapat duduk sejajar dengan bangsa-bangsa maju. Apa yang dipikirkan Habibie dan Ki Hajardewantoro (Bapak Pendidikan Indonesia) adalah juga yang menjadi obsesi Anies Baswedan.
Benih-benih kesadaran dan kemudian menjadi obsesi Anies akan pentingnya pendidikan kiranya telah muncul sejak dini. Maklum, ayahanda dan ibunda beliau datang dari dunia kampus, keduanya dosen universitas. Sedangkan kakeknya, A.R. Baswedan yang juga seorang pahlawan nasional, adalah mantan dosen UGM. Dus, Anies dibesarkan dengan dan dalam lingkungan ilmu pengetahuan.
Perjuangan kakeknya dalam merebut kemerdekaan memotivasi Anies untuk mendalami sejarah nasional, yang kemudian membantu dia memahami secara mendalam hal-ihwal bangsa ini. Nampaknya, ia juga terinspirasi pernyataan Bung Karno untuk “Jangan sekali-kali melupakan sejarah” (Jasmerah).
Dan ia menemukan bahwa pendidikan merupakan harga mati untuk keberlangsungan hidup sebuah bangsa. Memang ketimpangan pendidikan di antara anak bangsa akan menimbulkan kecemburuan sosial dan kesenjangan antardaerah yang, pada gilirannya, mengancam persatuan nasional dan menciptakan masalah keamanan. Salah satu penyebab gejolak politik dan keamanan di Papua adalah faktor kemiskinan dan kecemburuan sosial yang diakibatkan oleh ketimpangan pendidikan. Masih banyak anak Papua yang tak memiliki akses pendidikan, apalagi pendidikan berkualitas, sehingga menghambat mobilitas vertikal mereka dalam struktur sosial bangsa Indonesia.
Selain itu, pemerataan pendidikan yang berkualitas merupakan perwujudan keadilan sosial. Dengan begitu, seluruh anak bangsa pun mendapat akses ke pasar tenaga kerja yang sama sesuai dengan keterampilan dan kapasitas masing-masing. Tak ada lagi beban orang-orang berpendidikan yang harus memberi makan pada penganggur dan orang miskin yang diakibatkan oleh minimnya pendidikan yang mereka terima.
Pemerataan pendidikan juga dapat mengakselerasi kemajuan bangsa karena semua anak bangsa dapat berkontribusi maksimal sesuai dengan talenta dan kompetensi masing-masing. Hal inilah yang terjadi di negara-negara maju. Dan karena itu, hal ini juga yang menjadi obsesi Anies. Tapi obsesi itu tak dapat ia eksekusi pada skala nasional kalau ia tak punya kekuasaan.
Pada 2024, ada kontestasi elektoral berupa pemilihan presiden tanpa petahana. Dari semua bakal kandidat presiden yang jadi perbincangan publik hari-hari ini tak ada yang punya concern atau track record pada bidang pendidikan kecuali Anies.
Memang kendati dianggap penting oleh segelintir orang, tak ada orang Indonesia masa kini yang menganggap pendidikan hal yang serius melebihi Anies. Tak heran, orang-orang yang gelisah akan masa depan bangsa dan sevisi dengan Anies tentang pendidikan sebagai isu strategis, mulai bangkit. Di mana-mana bermunculan relawan “Anies for President”.
Memang bila Anies menjadi presiden, ada harapan keadilan pendidikan bagi semua akan terwujud. Tapi tak berarti Anies hanya jago di sektor pendidikan. Ia telah membuktikan diri sebagai pemimpin yang punya kapasitas intelektual dan kapabilitas memimpin yang mumpuni dalam memikirkan, merencanakan, dan mengeksusi berbagai masalah rumit, dan terus berinovasi dalam mewujudkan apa yang dibutuhkan Jakarta dan Indonesia masa kini.
Tentu saja jalan menuju RI1 tidaklah mudah. Di depan terbentang jalan panjang penuh onak. Tapi dengan ikhtiar, ketulusan dalam berjuang, dan kerja keras para simpatisan Anies, bukan tidak mungkin sebuah cita-cita besar dapat diraih.
Tangsel, 6 Desember 2021
(Smith Alhadar, Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education/IDe)