Dari zaman Belanda, Jakarta itu banjir. Yang membedakan adalah pertama, seberapa tinggi air itu menggenang. Kedua, seberapa luas wilayah yang kena banjir. Ketiga, butuh waktu berapa lama air itu surut. Keempat, berapa jumlah korban. Kelima, wilayah vital mana saja yang kena banjir.
BANJIR di Ibu Kota sungguh sangat seksi. Semua orang membicarakan. Jakarta banjir, media dan medsos pun ikut banjir. Meski hanya beberapa jam, banyak orang yang bersemangat untuk menviralkan.
Banjir di Jakarta seolah telah menjadi kolam bermain yang mengasyikkan bagi awak media dan pengguna medsos, wabil khusus bagi para buzzer yang gemar berenang di genangan air Ibu Kota.
Beda dengan banjir berhari-hari yang merendam sejumlah wilayah lain, tak banyak mendapat perhatian. Berita sekadarnya, karena tak ada nilai politisnya.
Semarang dan Demak langganan banjir, meski musim kemarau. Air laut naik ke atas (Rob) yang mengakibatkan sejumlah tambak hilang dan menjadi laut, serta rumah-rumah tepi pantai tergenang air.
Musim hujan ini, sejumlah wilayah di antaranya Bali, Bandung, dan tiga provinsi di Kalimantan mengalami banjir yang merendam banyak rumah. Termasuk wilayah yang akan dijadikan lokasi ibu kota tak luput dari serbuan banjir. Ini tidak heboh, karena gak ada unsur politisnya. Sangat berbeda kalau banjir terjadi di Jakarta, khususnya ketika Gubernurnya bernama Anies Baswedan. 24 jam medsos aktif berisi bully-an.
Dari zaman Belanda, Jakarta itu banjir. Yang membedakan adalah pertama, seberapa tinggi air itu menggenang. Kedua, seberapa luas wilayah yang kena banjir. Ketiga, butuh waktu berapa lama air itu surut. Keempat, berapa jumlah korban. Kelima, wilayah vital mana saja yang kena banjir.
Lima hal ini dapat dijadikan alat ukur untuk menilai bagaimana seorang Gubernur Jakarta mengatasi banjir permanen di Ibu Kota tersebut. Sukses tidaknya seorang gubernur DKI mengatasi banjir, lima hal di atas bisa menjadi instrumen penilaian.
Anies Baswedan adalah salah satu, atau mungkin satu-satunya Gubernur DKI yang berani membuat target dalam mengatasi banjir di DKI. Kata Anies: jika hujan normal (kurang dari 100 mm/hari), maka dalam enam jam genangan air harus surut.
Anies tentu punya kalkulasi soal ini. Di DKI, ada tiga cara mengatasi banjir. Pertama, dengan memperlebar aliran sungai yang disebut normalisasi. Di era Anies, jumlah anggaran untuk normalisasi 1.037 triliun rupiah. Jadi hoaks jika ada yang menuduh Anies anti normalisasi.
Bahkan, sejumlah waduk di Jakarta sedang dalam proses perencanaan. Sebagian sudah dibebaskan tanahnya. Kemungkinan waduk-waduk ini akan selesai pembangunannya setelah Anies tidak lagi menjabat sebagai Gubernur DKI. Artinya, Anies juga memiliki rencana jangka panjang untuk mengatasi banjir di DKI.
Kedua, menyiapkan pompa air. Setiap datang musim hujan, pompa air dipastikan ready/siaga untuk sewaktu-waktu ON ketika terjadi hujan. Di Jakarta, ada 487 Pompa Stasioner dan 175 Pompa Mobile.
Meski sempat ada yang iseng untuk menyabotase pompa air ini agar tidak berfungsi. Kalau tidak berfungsi, Jakarta banjir dan Gubernurnya jadi sasaran bully-an.
Ketiga, program naturalisasi melalui sumur resapan. Tahun 2021, ada 26.000 sumur resapan dibuat. Hampir 100 persen rampung. Dan terbukti, sumur resapan telah berfungsi cukup baik.
Senin kemarin, hujan cukup lebat dengan durasi cukup lama. Hanya dalam tempo 3 jam 15 menit, genangan air di 21 titik bisa surut. Jam 16.30 tergenang, jam 19.45 surut.
Ini baru kerja terukur. Betul kata Anies: gak boleh lebih dari enam jam, air harus sudah surut.
Sayangnya, program sumur resapan untuk 2022 digagalkan oleh DPRD. Semula dianggarkan Rp 322 miliar. Dipotong jadi Rp 120 miliar. Kemudian diubah lagi menjadi 0 rupiah. Artinya, tidak dianggarkan, alias dibatalkan oleh DPRD.
Bagaimana gubernur mau membebaskan Jakarta dari banjir, kalau upaya untuk mengatasi banjir di Jegal anggarannya?
Tak boleh patah arang. Segala upaya untuk mengatasi banjir Jakarta tetap harus dilakukan. Meski DPRD gak menganggarkan, rakyat bisa ikut ambil peran.
Pertama, rakyat bisa kumpulkan koin untuk “Wakaf Sumur Resapan”. Buka saja donasi untuk mengatasi banjir DKI. Ini bisa jadi gerakan sosial dan juga moral.
Kedua, minta kepada semua perusahaan di DKI untuk mengeluarkan sebagian CSR-nya buat program pembuatan sumur resapan.
Mesti ada gerakan rakyat untuk melawan banjir di Ibu Kota. Mekanismenya bisa berkoordinasi dengan Pemprov DKI.
Intinya, banjir di DKI harus dilawan hingga betul-betul tuntas. Kalau tuntas, dan Jakarta bebas banjir, apakah Ibu Kota akan tetap pindah?
Jakarta, 22 Desember 2021
(Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)