Prawoto Mangkusaswito, Wahid Hasyim, dan Ignatius Kasimo ini adalah tiga sahabat yang selalu berdebat dan saling mengkritisi antar sesama, namun mereka tetap bersahabat di luar arena perdebatan.
JAKARTA | KBA – Pemahaman dan penerapan demokrasi saat ini sedikit keluar dari jalurnya, terkhusus soal perdebatan di depan publik atau di forum-forum resmi yang masih dibatasi. Hal ini bisa dilihat dari aksi pembungkaman kepada orang-orang yang ingin menyampaikan aspirasi.
Tidak hanya itu, kedewasaan publik figur saat ini juga sangat disayangkan setelah aksi saling bantai antarsesama di ruang perdebatan, baik offline maupun online. Mereka saling membenci dan membuka aib masing-masing setelah merasa kalah dalam perdebatan.
Kejadian-kejadian ini kemudian ingin di rubah oleh Anies Baswedan ke depan. Anies menginginkan para publik figur bangsa ini mencontoh tokoh-tokoh bangsa terdahulu, seperti pimpinan Nahdatul Ulama (NU) K.H. Wahid Hasyim, Pimpinan Masyumi sekaligus Perdana Menteri Indonesia Prawoto Mangkusaswito, dan Tokoh Partai Katolik Indonesia Ignatius J. Kasimo.
Menurut Gubernur DKI Jakarta ini, tiga tokoh itu sering adu gagasan di forum-forum resmi hingga forum diskusi mereka, namun tidak ada rasa dendam antara mereka setelah perdebatan itu selesai.
Anies menceritakan, Prawoto Mangkusaswito, Wahid Hasyim, dan Ignatius Kasimo ini adalah tiga sahabat yang selalu berdebat dan saling mengkritisi antar sesama, namun mereka tetap bersahabat di luar arena perdebatan.
“Prawoto Mangkusaswito itu pimpinan Masyumi, Prawoto ini gak punya rumah padahal perdana menteri, tapi tidak punya rumah, anaknya banyak. Ignatius J. Kasimo Tokoh Partai Katolik Indonesia, dia berbicara dengan beberapa orang termasuk Wahid Hasyim dan lain-lain untuk iuran beli dia (Prawoto) rumah,” cerita Anies dalam video pendek yang dikutip KBA News, Jumat, 10 Desember 2021.
“Ini yang ngumpulin orang Katolik, tapi kata Pak Kasimo jangan di rumah saya rapatnya, karena nggak enak masa yang ngumpulin malah dari orang Katolik, jadi sudah ngumpulin di rumah Pak Wahid Hasyim saja, dan Wahid Hasyim bersedia di rumahnya dan itu tidak diketahui oleh Pak Prawoto,” sambung Anies.
Setelah terkumpul, kata Anies, Ignatius mengusulkan agar rumah yang sudah dibeli itu diserahkan langsung oleh Wahid Hasyim kepada Prawoto, namun usulan tersebut ditolak oleh Wahid Hasyim. Alasannya, lanjut Anies, jika rumah tersebut yang serahkan adalah Wahid Hasyim, maka Prawoto tidak akan mengkritisi NU lagi.
“Iuran kita belikan dia rumah, selesai itu rapat memutuskan biarkan Pak Wahid Hashim saja yang menyampaikan ke Prawoto, dia malah tidak mau, alasannya nanti kalau saya berikan Prawoto tidak kritis lagi ke NU,” ucap Anies.
Menurut Anies, dari kisah tiga tokoh bangsa ini bisa dipetik pelajaran berharga yakni tetap guyub meski selalu terlibat perdebatan sengit dan saling kritik di ruang publik.
“Rukun, guyub tapi perbedaan tetap ada, di sisi lain di ruang perdebatan mereka berdebat, mereka saling kritik tapi di luar arena itu mereka adalah sahabat, teman yang memikirkan hajat hidupnya,” paparnya.
Dijelaskan Anies, contoh yang ditunjukan oleh Prawoto, Wahid Hasyim, dan Ignatius sulit untuk ditemukan di kehidupan demokrasi saat ini, karena para pejabat negara saat memberikan sesuatu kepada orang atau kelompok dengan tujuan untuk tidak berbicara atau tidak mengkritisi mereka.
“Hari ini kita memberikan sesuatu sambil berharap orang itu diam, coba di cek. Sementara Wahid Hasyim malah bilang enggak usah saya berikan supaya beliau tetap kritis kepada NU, karena Masyumi memang kritis kepada NU,” jelasnya.
Mantan menteri pendidikan dan kebudayaan itu ingin sekali kedewasaan tiga tokoh bangsa ini tetap ada di zaman sekarang, setelah nilai-nilai demokrasi makin terkikis dengan sikap pejabat negara yang takut dengan kritikan.
“Nah itu yang sedang saya bayangkan bisa dikembangkan lagi gitu,” pungkasnya. (kba)