Publik harus memiliki kesadaran untuk bersikap tepat dan tegas di hadapan media. Literasi menjadi gerbang utama menuju smart society.
Oleh: Alwi Sagaf Alhadar
IBARAT kata pepatah, gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan terlihat jelas. Itulah gambaran yang dialami Anies Rasyid Baswedan, Gubernur DKI Jakarta di mata media. Sejak awal pencalonan dirinya sebagai bakal orang nomor satu di Ibu Kota Negara hingga kini.
Selama ini hampir setiap hari beredar berita lintas media yang selalu “menjelekkan” kinerjanya sebagai pejabat publik. Konten beritanya bernada negatif. Entah itu pembangunan di bidang fisik maupun non-fisik. Padahal secara kasatmata telah banyak karya kolaboratifnya hadir dan tampil gemilang.
Sebagai pejabat publik, Anies sadar atas konsekuensi jabatannya. Dalam berbagai kesempatan ia selalu membuka diri untuk menerima kritik dan saran konstruktif. Namun yang didapatkan justru sebaliknya. Konten berita bernada cercaan dan “selalu salah” menjadi sajian utama media. Apakah media kita sudah terjebak dalam Era Post-Truth? Wallahua’lam.
Padahal Anies tahu betul media massa adalah mitra utama dalam menjalankan semua programnya. Ia tak butuh pujian dan sanjungan. Yang ia dambakan pemberitaan yang benar sesuai fakta dan data.
Menyebut kata media, saya jadi ingat dengan kemeja pria. Analogi sederhana ini sengaja saya utarakan, sebab secara umum kemeja pria terdiri dari tiga ukuran standar. Ada ukuran S (Small), M (Medium), dan L (Large).
Sesuai dengan namanya, maka media itu berada di tengah. Bukan S, bukan pula L. Jadi tidak ke kiri, juga tidak ke kanan. Poin ini mengindikasikan bahwa media “bergerak” pada tataran tengah (baca; netral). Hingga menjadi penengah dari dua sisi yang berbeda. Otomatis ia harus menjunjung tinggi tatanan informasi yang adil, berimbang, serta bertanggung jawab secara faktual.
Zaman terus bergerak. Demikian pula dengan perkembangan media massa yang terus berpacu di era digital ini. Seolah saling berlomba cepat menulis berita untuk media cetak, elektronik, dan online. Sayangnya, banyak yang tak paham akan cara menulis yang baik dan benar. Atau ada yang memang “sengaja” bermain-main (framing) untuk mendiskreditkan pihak yang dianggap merugikan kepentingan suatu kelompok. Presiden Abdurrahman Wahid sering menyebut mereka itu sebagai kaum “pemelintir berita”.
Akhirnya, pada posisi ini jelas publik berada pada pihak yang dirugikan. Mereka tidak mendapat informasi yang layak dan benar. Padahal jurnalis adalah penggali dan pembawa kebenaran untuk disebarluaskan pada siapa pun. Bukan sebaliknya. Tragisnya lagi, mereka masih asyik berkutat dengan pameo Bad News is Good News.
Rupanya Gubernur Anies cermat membaca situasi ini. Tak mau berlama-lama. Ia lantas bergerak cepat menata literasi publik. Kerja cerdasnya selama empat tahun terakhir ini ternyata berbuah manis. Momen Hari Pahlawan 10 November kemarin, Jakarta ditetapkan sebagai ‘City of Literature’ oleh Badan Dunia PBB, UNESCO (United Nations Educational Scientific and Cultural Organization).
Selain itu, untuk mengedukasi warganya, Anies memaksimalkan penggunaan berbagai akun media sosial guna “melaporkan” hasil kolaborasinya. Saya termasuk yang setiap hari mengikuti akun facebook-nya. Bersama narasi dan foto yang memikat.
Kini di tangan Anies, Jakarta telah mendapat pengakuan kelas dunia di bidang literasi. Maka harapan saya – untuk Anies Rasyid Baswedan – kelak Indonesia ke depan pun akan mendapat pengakuan yang sama di mata UNESCO. Minimal terangkat ke posisi menengah dari peringkat terendah saat ini.
Ternate, 11 Desember 2021