Sebaik-baiknya manusia di antaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain.
Oleh: Alwi Sagaf Alhadar
Sabtu sore kemarin, saya ke tukang pangkas rambut langganan di kawasan Kelurahan Makassar Timur. Tiba giliran saya yang terakhir. Abang – panggilan akrab pria asal Sumatera Barat ini – mengarahkan saya duduk di “kursi pemangkasan”.
Kami berdua pun saling bercerita berbagai hal kekinian, sambil perlahan rambut saya dipangkas. Mulai dari demo emak-emak pedagang di Pasar Hiegenis Kota Ternate hampir setiap hari, hingga bakal digelarnya STQ Nasional ke XXVI di Sofifi, Ibu Kota Provinsi Maluku Utara medio Oktober ini.
Ketika saya sentil isu Pilpres 2024, dengan nada semangat ia menyebut Anies Baswedan adalah idolanya dan paling layak pimpin negara ini. Dengan berbagai argumen tentunya. Namun, dengan nada skeptis ia lanjutkan, “Tapi kan Anies tak punya partai politik. Apakah ia akan didukung elite parpol, sedangkan mereka juga kan mau maju?”
***
Tahun 2006 silam saya dan teman-teman dari Maluku Utara serta Jambi diundang oleh Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat untuk kunjungi negara itu dalam Program Civil Human Right. Lebih kurang dua bulan kami jelajahi 10 negara bagian di negerinya Paman Sam itu. Kota Chicago sebagai home base kami.
Tujuan utama program ini, agar peserta paham bahwa egara adidaya itu telah tinggalkan rasialisme dan menuju kehidupan baru yang setara antarwarganya di berbagai aspek, termasuk hak politik.
Kemudian kami diajak road show ke berbagai tempat, untuk bertemu dan berdiskusi dengan person, dan komunitas “khusus kulit hitam”. Antara lain, ke museum, wali kota, gubernur, senator, hingga calon presiden dari Partai Demokrat, Barack Hussein Obama, anak seorang pria Muslim kulit hitam Afrika dan wanita kulit putih Amerika Serikat. Kedua orang tuanya berpendidikan tinggi.
Hari yang ditungu-tunggu pun tiba. Kami diundang bersama warga Kota Chicago yang menetap di ibu kota Washington, DC untuk bertemu senator dari negara bagian Illinois. Barack Obama dan Dick Durbin dalam acara yang bertajuk Coffee and Donuts. Kalau di Indonesia sering disebut Jaring Asmara. Kira-kira semacam itulah. Acara ini digelar sebulan sekali. Sebelum menuju ke kursi senator, Obama muda bergelut akrab dengan warga Kota Chicago lintas-etnis. Soal sampah, air bersih, parkir liar, hingga dampingi kaum difabel adalah kerja pria cerdas ini, sehari-hari.
Setelah dialog panjang lebar sembari cicipi kedua menu ringan di atas, pertemuan pun usai. Sebelum bubar, kami diajak foto bareng dan jabat-tangan. Saat giliran saya jabat-tangan sambil berbisik padanya, I hope you will be the next President of the United States. Kontan Obama membalas, “Terima kasih banyak,” dengan wajah sumringah sambil menggenggam erat tangan saya.
Jujur saja, waktu itu saya hanya basa-basi penuh nada skeptis. Tak mungkinlah seorang kulit hitam menjadi number one di negara yang didominasi kaum kulit putih, dalam hati saya. Namun “politik kecerdasan” yang dibangun tim kampanye sosok yang mengusung jargon Yes, We Can ini ternyata berbuah manis dan hempaskan keraguan saya. Awal 2009, pria kelahiran Hawaii, AS ini dilantik menjadi Presiden Amerika Serikat ke-44 bersama Wapres Joe Biden. Ya, Kami Bisa!
Impian tokoh pergerakan kulit hitam Dr. Martin Luther King pun terkabul setelah penantian panjang selama 46 tahun. Kala itu tahun 1963, MLK berpidato di hadapan ratusan ribu massa di Washington, DC dengan pidatonya yang monumental. I Have a Dream. Salah satu isi pidatonya, kelak kulit hitam harus menjadi pemimpin negara itu.
***
Nama Anies muncuat ke publik setelah ia dilantik menjadi Rektor Universitas Paramadina Jakarta, tahun 2007. Namun jauh sebelum itu, saya sering dengar namanya bersiliweran di media asing. Sering diwawancarai Voice of America (VOA) dalam programa Indonesia. Kebetulan akhir 90-an radio siaran kami (Radio Hikmah 103 FM) kerjasama dengan VOA dalam berbagai program. Tak heran kalau bahasa Inggrisnya fasih dan lancar.
Sejak menempuh pendidikan awal hingga jenjang tertinggi, sosok yang tekun belajar ini sudah terlibat dalam berbagai organisasi intra maupun extra kurikuler. Ia selalu didapuk menjadi ketua pada berbagai level organisasi. Mungkin ini yang membuat Anies terlihat matang dalam berbagai langkah dan tindakannya. Learning by Doing.
Fakta menunjukkan saat ia pimpin Jakarta saat ini, data dan iptek selalu jadi referensinya dalam berbagai program. Tak heran bila beraneka award dari tingkat nasional hingga pada level berskala dunia pun tertuju padanya.
Kini langkah ke depan untuk terus “berbuat baik” terbuka lebar. “Politik kecerdasan” yang selama ini jadi pola dan tindakannya, selalu “dipantau” kawan maupun lawan. Siapa bilang hanya Obama saja yang bisa memutarbalikkan stigma elektoral?
Ya, Torang Bisa!
Ahad, 3 Oktober 2021